Tampilkan postingan dengan label delirium. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label delirium. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 November 2009

Mental Detox I : Nyoba puasa digital :D

Kalo satu dekade ke belakang mungkin masih relevan buat kita nyoba nolak TV sebagai sumber informasi dan sumber pengaruh pola keseharian, polarisasi dan kecenderungan mental...kayanya udah lewat zamannya. Hari ini, ngapain kita mesti adiksi sama tv ketika kita bisa pindahin adiksi kita ke tawaran (yang jumlahnya gak keitung) dari dunia digital? Imajinasi-imajinasi gak berujung dari ps, pc game, online game, social-network, mp3 dan video? Kebanyakan dari kita perlu untuk ngeblokir diri dari realitas yang kering, suasana yang bising, musik yang gak kita suka; kita perlu digitalized, dan asupan listrik itu mutlak pentingnya! Dan ketika kita bisa dapet informasi apapun yang kita mau dari search engine, penjelasan instan dari website-website review dan wikipedia; kenapa kita mesti repot-repot baca buku? Kalo bisa ketemu semua temen lewat internet, ngapain sering-sering ketemu kalo gak perlu-perlu amat? Itu kan berarti ongkos, usaha, dan energi. Ngapain curhat berulang-ulang kali, kalo bisa sekalian lewat blog? Capek-capek berusaha ngenalin karakter temen, kan ada situs network sosial dan chatting kalii. Hari ini, memang nyaris semua kebutuhan psikologis kita dipenuhin sama dunia digital...mulai dari kehidupan sosial, imajinasi, "adrenalin", dan proses kreatif.

Tentu aja, saya termasuk dari ratusan juta yang teradiksi dengan listrik dan dunia digital. Kalo listrik mati selama satu atau dua bulan, mungkin saya termasuk salah satu dari ratusan juta orang yang stress. Saya masuk dalam generasi yang udah kebiasa sama alat-alat elektronik, dan kemudahan komputer semenjak dekade pertama dalam hidup saya. Dan semenjak era internet, saya selalu haus akan pengetahuan apapun; apapun yang muncul di benak, emang tinggal ketik dan klik buat cari tau. Informasi masuk dalam kecepatan tinggi, bertumpuk-tumpuk, dan gak kestruktur.

Apa yang salah dari ini, selain ketergantungan saya sama listrik dan berkurangnya porsi relasi langsung saya sama dunia nyata di sekeliling saya?
Saya belom tau, tapi jelas ada sesuatu yang aneh disini. Jadi, untuk satu minggu kedepan (atau lebih, kalo saya bisa, haha) saya mau nyobain puasa digital. Saya cuma akan make hape saya yang gak bisa online, gak punya game dan gak bisa nyetel musik/video itu; kalo bener-bener perlu doang. Misalnya perlu kontak dadakan buat tau dimana tempat janjian sama temen-temen pindah atau apalah. Tapi lepas dari itu, saya mau nyoba kembali ke beberapa dekade kebelakang, haha. Dan itu berarti nerjemah manual (tulis tangan), nulis di buku tulis, baca buku, dan lain-lain.


Yah, sebenernya ide ini muncul bukan tanpa pengaruh info yang saya dapet secara digital juga sih; ironisnya, info ini saya dapet dari adbuster, ketika saya lagi browsing iseng-iseng sambil begadang tadi malem. Ada beberapa info yang menarik perhatian saya; video tentang generasi di Korea Selatan, area yang disebut sebagai paling terkoneksi/wired di dunia, tentang anak-anak badan yang bertumpuk lemak karena jarang gerak, kebanyakan di depan komputer. Tentang saling nutup dirinya orang-orang dari lingkungan sekitarnya, dan semua orang sibuk dengan perangkat elektroniknya masing-masing. Oke, disini emang belom separah di video ini. Saya gak overweight, masih ketemuan langsung sama temen-temen saya,... Tapi saya gak bisa nyangkal, kalo kita semua emang sampe level tertentu gak bisa lepas dari perangkat elektronik kita.

Setelah itu, saya janjian sama beberapa temen saya buat nyoba eksperimen kecil ini sampe beberapa lama kedepan. Mungkin perbedaan yang saya rasain itu nanti bakal saya tulis disini juga, hahaha... Sip, buat yang pengen liat link yang saya baca itu, bisa klik di sini ya.

Minggu, 08 November 2009

Psyche I: Karena kita semua terlanjur gila.


My little empire,.

I'm sick of being sick
I'm tired of being tired
I'm bored of being bored
I'm happy being sad
Happy being sad
-- Manic Street Preachers

We need and we will always need
Another invented disease
We need and we are taught to need
Another invented disease
-- (also) Manic Street Preachers


Semenjak menurut saya kebanyakan orang yang pernah saya jumpai, kenal, atau juga berhubungan secara sosial itu absurd, saya mulai nyari-nyari penjelasan tentang apa emang cuma saya yang mikir gitu, atau emang secara ‘ilmiah’ (atau dengan kata lain menurut teori psikologi yang udah ngelewatin pengujian-pengujian—yang walaupun gitu belom secara pasti ngebuktiin kalo teori-teori itu bener adanya, dan bisa selalu kepake di generasi apapun karena psikologi manusia itu selalu berubah ngikutin perkembangan peradaban) juga gitu. Ternyata, setelah baca-baca beberapa (ya, emang belum sangat banyak sih) artikel dari DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) , misalnya, atau wikipedia, atau apapun yang bisa saya temuin di google, link dari temen atau buku; nah, ternyata emang secara ‘ilmiah’ pun; kita semua emang gila.
Kelakuan-kelakuan sehari-hari yang diamini dalam masyarakat modern hari ini, bisa ditemuin dalam gejala-gejala mental disorder dalam psikologi modern. Dan itu yang bikin saya gak ngerti kenapa kita perlu psikiater buat nyembuhin orang-orang yang disebut ‘sakit jiwa’...karena kita semua ternyata ngalamin ‘mental disorder’---hei, bahkan para psikiater itu. Dan apa jadinya kalo orang-orang gila sok sok berusaha nyembuhin orang gila laen? Kegilaan yang bakal tanpa henti; menurut saya itu jawabannya. Terus apa masalahnya kalo semua orang itu gila? Ya gak apa apa, justru buat saya itu intinya. Karena kita semua udah gila, jadi kegilaan itu normal, dan bahkan udah gak perlu diklasifikasiin lagi sebagai ‘abnormal’ sama para psikiater sok tau itu.


Oke supaya jelas mendingan saya mulai kasi beberapa contoh "pola tingkah laku patologis" modern.
Kebanyakan anak-anak zaman sekarang (yang saya bisa temui, kenal atau temenan, lagi-lagi), punya ketertarikan yang sangat besar sama diri mereka sendiri, dan entah gimana caranya, juga ngerasa kalo masalah-masalah pribadi mereka sangat unik dan perlu diketahui sama banyak orang—atau minimal temen-temennya. Menyerupai grandiosity; orang-orang yang diklasifikasikan sebagai mania ini ngerasa kalau kediriannya sangatlah spesial dan terdapat misi-misi raksasa yang harus dipenuhi dalam hidupnya; seringkali, mereka didapati nampak seperti yang selalu euforia: mania berbicara dengan kecepatan luar biasa, gak terlalu butuh tidur karena terlalu banyak hal yang ingin dipikirkan-dilakukan (jadi perubahan waktu jadi gak kelacak), dan memiliki pemikiran yang terus salip menyalip di dalam kepalanya. Mungkin sulit untuk terus mengikuti apa yang ia pikirkan. Hal ini, umumnya meningkatkan stress pada hubungan-hubungan sosial mereka; yah, mungkin karena kedirian individu yang mania akan menjadi lumayan melelahkan :) karakteristik umum individu mania adalah grandiosioty (perasaan "kebesaran" diri), obsesif, dan tidak akan menerima bahwa ada sesuatu yang absurd dengan dirinya. Gejala mania dalam tipe ringan disebut hipomania; dan ketika individu mania yang seringkali euforia ini juga memiliki kecenderungan depresif, akan terjadi episode campur (mixed episode), dimana mania yang seringkali euforia juga mengalami disforia yang manic. Individu mania, mungkin akan nampak seperti individu yang sangat sangat impulsif. Haha, tapi gataulah. Dengan kecepatan input informasi yang masuk di jaman ini, kebanyakan anak muda mungkin gini deh. Some kind of generation-thing? yah, jelas gak semua orang gitu, tapi maksud saya ini efek yang logis dari desakan pengaruh dari berbagai ide, referensi dan teori yang memasuki kepala-kepala kita... "damn, so many things to do and how can i ever do enough to living this life to its maximum???".
Mania; emang secara permukaan nampak menyerupai ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) alias ngalamin kesulitan berfokus terhadap sesuatu, tapi sekaligus cenderung hiperaktif. ah, tapi ini gak terlalu masalah sih kayanya kalo orang-orang sekitarnya gak keganggu (atau individunya jadi makin stress atau saking seringnya mixed episode sampe masuk tahap bipolar, dimana pergantian euforia-disforia nya bakal berlangsung dengan sangat cepat sampe tendensi buat jadi skizofrenik mulai menguat).

Contoh yang sama-sama seringnya ditemui juga; adalah obsesi dan ketertarikan personal/emosional yang luar biasa sama objek-objek tertentu. Lebih spesifik lagi, ketertarikan pada objek-objek tertentu ini juga ngehasilin gejolak emosional tertentu buat si individu...nah, yang ini dikenal sebagai fetish. Fetish, bukan cuma ada secara seksual, tapi juga fetish komoditi. Kalau fetish seksual berfokus sama hal-hal tertentu yang ngehasilin rangsangan seksual yang besar; fetish komoditas gak harus ngehasilin rangsangan seksual, tapi sekedar ‘hubungan personal’ sama perbendaan—komoditi. Komoditi, tentu saja, adalah hal yang bisa kita beli. Dan fetish komoditi inilah yang saya liat dihasilin sama teror sosial, lingkungan, oh, dan juga iklan (tanpa nekenin pada sekedar iklan—karena pengaruh media tentu saja gak sesederhana pengaruh iklan doang); yang ngebentuk imajinasi imajinasi tertentu pada komoditi itu. Dan dari imajinasi kepentingan tersebut, munculnya hubungan personal kepada komoditi. Ini adalah semacam mental disorder (hei bukan klasifikasi dari saya loh, tapi kata buku DSM hasil tulisan American Psychiatric Association , asosiasi psikolog modern itu) yang ngebuat pasar dan produksi komoditi terus berjalan. Ini yang sering disebut sama majalah-majalah yang girly sebagai; “shopping itu ngeredain stress loh”. Hahah, makanya mungkin para penulis yang keki sama kelakuan konsumeris bakal semakin sering menghela nafas, soalnya, hampir semua orang sekarang butuh ini; dan sepanjang pemenuh hasrat ini ngebutuhin pertukaran nilai tukar/uang, kalian bisa terus memaki sampai keabisan kata…hei tapi sistem ini bakal terus berjalan dengan keberadaan fetish ini. :P
Sedikit mulai ngedapetin gambaran?
Terkadang, dari contoh-contoh yang diatas, saking umum dan diterimanya hal-hal itu dalam masyarakat; tentu itu dianggap sebagai hal yang natural dan biasaa.

Oh sekarang memasuki contoh dari dunia yang sedikit lebih gelap dan personal; semakin familiar rasanya saya dengan kata depresi. Mmm…untuk jelasnya, depresi itu bukan sekedar stress; ia adalah stress, angst, kebencian dan kesedihan yang bertumpuk hingga asal mulanya udah semakin gak kelacak. Disebut oleh DSM sebagai major depressive disorder; orang-orang yang depresi kesulitan untuk ngalamin kesenangan dalam hidup kesehariannya. Biasanya, hari-harinya didominasi oleh mood yang butut. Angst, kemarahan, sakit hati, kebencian, dan segala emosi terhadap faktor-faktor eksternal itu kemudian menjadi bumerang buat dirinya sendiri. Orang-orang yang depresi pada umumnya kemudian ngarahin segala emosi ‘negatif’ itu ke dirinya sendiri, selain ke hal-hal diluar dirinya. Kemudian ia bakal ngerasa dirinya gak berarti, perasaan bersalah atau penyesalan yang sebenernya mungkin gak perlu, ngebenci dirinya sendiri dan idupnya, dan ngerasa ini nyaris gak bisa dihentiin,..dan makanya kebanyakan orang dalam fase depresif yang kemudian mulai bergerak kearah tendensi-tendensi bunuh diri. Dalam fase kemuraman ini, sebagian orang yang depresif bakal nutup hubungannya dengan lingkungan sosial dia yang biasa dia masuki. Kesulitan tidur atau justru kebanyakan tidur, juga adalah efek yang biasa. Dunia dan kehidupan bakal nampak sangat gak relevan buat terus dilanjutin. Terkadang, orang-orang yang depresif juga ngalamin ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder). Orang-orang yang depresif seringkali disamain sama sekedar moody; atau berganti-ganti mood dengan cepat, karena emang orang depresif ternyata lumayan moody; tapi ya bukan sekedar itu doang sih.
Masih pengen ngebahas depresi, salah satu hasil dari tahap perkembangan dari major depressive disorder tadi, adalah sindrom psychotic major depression. “Tahap selanjutnya” ini bisa dialamin kalo individu yang ngalamin depresi tadi gak berhasil keluar dari lubang hitam kemuramannya, tapi juga gak jadi-jadi bunuh diri. Kebanyakan individu yang ngalamin PMD, ngerasain delusi rasa bersalah dan paranoid; atau ngerasa bahwa ada sesuatu yang salah di tubuhnya; ketika bahkan tubuhnya berfungsi secara normal. Gejala-gejala umum yang lainnya, individu dengan PMD biasanya ngerasain kesulitan tidur, mudah teragitasi, atau ngalamin kesulitan mengingat (‘gangguan dalam hal kognisi dan memori’). Tapi tentunya gejala ini gak ngerangkum semua gejala psikosis, karena masih banyak cabang dari klasifikasi psikosis yang lainnya misalnya skizofrenia, atau skizoaktif. Dan PMD ini gak nampak terlalu mencolok untuk pihak eksternal; karena orang-orang yang masuk kedalam klasifikasi PMD biasanya masih dapat berfungsi secara harian seperti biasa.

Masih nambah dikit soal PMD ya, saya gemes soalnya pengen nambahin tes sederhana untuk ngediagnosa psikosis depresif (kata padanan ini sangat besar kemungkinannya gak selaras dengan kata padanan yang dipake dalam buku psikologi bahasa indonesia, soalnya bahan-bahannya emang gak diambil dari situ). Daftar yang saya masukin dibawah adalah murni terjemahan dari DSM:

Berdasarkan buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) / Manual Statistik dan Diagnosa dari Kekacauan Mental, sebuah manual yang digunakan secara luas untuk mendiagnosa mental disorder/kekacauan mental, pasien-pasien yang menunjukkan setidaknya 6 dari gejala-gejala berikut ini dalam periode dua minggu atau lebih dapat di diagnosa sebagai PMD (Psychotic Major Depression). Untuk dapat diangap mengalami diagnosa PMD, pasien setidaknya mengalami no (1) atau (2), dan (10), bersama dengan tiga atau empat gejala lainnya (hingga total kurang lebih enam). Gejala-gejala ini dapat terjadi secara berbeda-beda tergantung bagaimana yang dirasakan/dilakukan pasien pada waktu sebelumnya.

1. mood depresif pada kebanyakan hari atau setiap hari.
2. kehilangan ketertarikan atau kesenangan dalam setiap hal, atau nyaris setiap hal yang dilakukan pada mayoritas hari, atau setiap hari.
3. Kehilangan/penambahan berat badan yang signifikan, Atau mengurangnya/meningkatnya selera makan nyaris setiap hari.
4. insomnia Atau hipersomnia (tidur secara berlebihan) nyaris setiap hari
5. agitasi psikomotorik (bergerak lebih cepat) Atau retardasi (retardation, bergerak lebih lambat) nyaris setiap hari, cukup mencolok hingga disadari oleh orang2 sekitarnya
6. lemas Atau kehilangan energi nyaris setiap harinya
7. perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah (yang dapat saja delusional) yang berlebihan, nyaris setiap harinya (bukan sekedar introspeksi diri atau perasaan bersalah akibat merasa sakit)
8. kehilangan kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, Atau, kehilangan kemampuan untuk memutuskan, nyaris setiap hari
9. pikiran yang berulang2 mengenai kematian (bukan dalam arti ketakutan akan mati), berulang2 memiliki ide-ide bunuh diri tanpa rencana spesifik, atau usaha-usaha bunuh diti, atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri
10. delusi atau halusinasi

Sedikit Familiar? Atau mungkin pernah punya temen/relasi yang gitu?
Mungkin iya, atau belom. :D yah contoh yang saya taro emang cuma tiga, soalnya tiga juga asa udah kepanjangan hehe..tapi sementara udah cukup lah ya buat ngegambarin kenapa menurut saya mental disorder adalah hal yang sangat umum buat ditemui di zaman sekarang. Saya mesti akui saya emang mulai tertarik baca-baca soal ginian, semenjak saya ngerasain beberapa hal dari yang dari awal tulisan tadi udah saya tulisin.
Karena seperti yang tadi saya bilang di awal; karena kita semua udah terlanjur gila, jadi udah gak ada masalah apakah kita gila atau gak—itu cuma jadi masalah ketika kita nganggep dampak-dampaknya punya efek yang kita gak pengenin dalem hidup kita. Buat saya sendiri, beberapa dari simptom yang saya punya cukup ngeganggu hidup saya sendiri, dan saya pengen minimalisir hal itu.
Dan setelah itu, tentunya saya gak cuman ngambil referensi murni dari DSM dan langsung percaya gitu aja...nggak, soalnya saya secara pribadi percaya, kalo dalam perkembangan peradaban ini, secara psikologis dan biologis, manusia pelan-pelan berevolusi (atau bermutasi? Karena secara genetik kita juga udah diacak-acak sama berbagai substansi kimia yang ada dalam pangan kita turun temurun), dan perkembangan dalam ‘inovasi-inovasi’ biokimia juga menurut saya sangat berpengaruh dalam perubahan ini.
Sementara, DSM dibuat oleh para psikolog dan psikiater yang gak masukin hal-hal tersebut sebagai bahan pertimbangan diagnosa, jadi dengan basis yang beda dengan yang saya percaya, tentunya saya gak bakal ngandelin para psikolog modern buat ngasi tau saya apa yang salah dengan kecenderungan mental kita hari ini. Tapi seenggaknya, referensi teoritis dari para ilmuwan itu ngebantu saya untuk ngeklasifikasiin gejala (meskipun nyaris dari semua teori itu emang gak punya kesimpulan yang meyakinkan tentang penyebab, tapi seenggaknya mereka udah ngeluangin banyak waktu untuk ngelacak gejala dan akibat).

Hal-hal yang saya jadiin contoh diatas, adalah hal-hal yang saya sempet amati di diri saya dan di lingkungan sosial saya. Emang lebih detail lagi kesimpulan yang saya dapet buat diri saya sendiri; karena emang sumbernya lebih banyak dan historis (diary dari bertahun-tahun lalu sampe sekarang, misalnya), dan tentunya saya adalah bahan yang lebih mudah untuk saya amati. Karena saya ingat hal-hal yang terjadi dalam idup saya, dan perkembangan emosional saya sepanjang itu. Sementara, orang lain adalah pihak eksternal; saya cuma bisa belajar darinya sepanjang mereka mau cerita sama saya. Dan kita tau kalo komunikasi ke pihak eksternal itu ke reduksi; saya gak akan dapet hasil seoptimal nganalisa diri sendiri.
Karena hal ini juga sebenernya buat saya psikiater itu cukup gak relevan keberadaannya; karena mereka pasti gak akan berfungsi secara efektif! Kecuali kalo individu yang ngerasa keganggu sama sindrom-sindromnya itu gak ngerasa mampu/pengen buat ngepelajarin dirinya sendiri, dan emang butuh bantuan eksternal. Tapi sehubungan temen yang lumayan tau soal psikologi juga bisa ngebantu untuk ngenalin dan ngatasin sindrom-sindrom mental disorder; tentunya ngebayar sangat mahal untuk psikiater buat saya adalah hal yang tolol.
Dan toh biasanya para psikiater itu kemudian cuma ngasi resep-resep obat biokimia; karena dalam teori-teori mereka, hasil analisa dari sisi biologi juga nunjukin kalo ada perbedaan-perbedaan hormon dan/atau genetik pada orang-orang yang ngalamin mental disorder. Misalnya; di orang-orang yang depresif, ditemuin bahwa mereka memiliki level yang rendah dari neurotransmitter seperti serotonin, norepinephrine dan dopamine। Sesuai dengan teori “penyembuhan depresi membutuhkan peningkatan monoamine” tersebut, maka banyak anti-depressan yang diberikan oleh para psikiater langsung meningkatkan salah satu atau beberapa dari neurotransmitter tersebut. Diasumsikan, ketika serotonin meningkat dan menyebabkan norepinephrine juga meningkat, depresi dapat terbantu.

"Norepinephrine dapat terhubung kepada kesiagaan dan energi, seperti halnya juga kecemasan, atensi, dan ketertarikan dalam hidup; [kekurangan] serotonin kepada kecemasan, obsesi, dorongan; dan dopamine kepada atensi, motivasi, kesenangan, dan juga kepada ketertarikan kepada hidup”
- Journal of Clinical Psychiatry

Terdengar logis, terdengar nyaris dapat diandalkan.
Kenyataan yang saya liat dari penggunaan-penggunaan andep/anti-depressan oleh teman-teman di lingkungan saya; meskipun anti-depressan memang ngehasilin mood yang lebih tenang dan santai, ia gak akan ngebantu untuk ngedapetin mood yang ceria atau energik. Dan kebanyakan dari pengonsumsi andep; merasakan gangguan hormonal ketika sedang tidak mengonsumsinya. Dengan kata lain, saya tetep gak bisa percaya sama intervensi orang buat gangguin struktur biokimia saya dengan bahan-bahan yang secara psikologis berpengaruh kuat. Dari sudut pandang saya, lagi-lagi ketika “penyembuhan” itu udah lebih berorientasi sangat kuat terhadap bisnis, saya bakal kesulitan percaya sama mereka, karena bukannya ngambil fokus di penyembuhan individu yang ngonsumsi, mereka akan lebih berfokus kepada profit yang akan dihasilkan dari situ. Dan obat-obatan itu gak lain adalah komoditi dari bisnis besar industri medis. Kita semua yang udah pada gila ini, adalah pasarnya.

Jadi, meskipun menurut saya adalah hal yang kepake, buat ngepelajarin studi-studi psikologi yang udah dilakuin sama para ilmuwan itu; saya gak akan ngandelin mereka buat ngejelasin penyebabnya, apalagi cara penyembuhannya. Apalagi karena menurut mereka “sembuh” itu kembali ke rutinitas hidup yang diamini sama masyarakat mayoritas dan masuk ke garis “normal” (alias, lagi-lagi, hal yang dianggap ‘normal’ adalah hal yang dilakukan/diamini sama orang mayoritas); dan kalo itu yang disebut “sembuh”---sementara saya nemuin banyak kegilaan dalam “kenormalan” yang mereka amini, gimana saya mau percaya mereka buat “nyembuhin” saya?

Mulai dari kesadaran kalo ternyata saya idup dalam dunia dimana semua orang itu terlanjur gila (entah mereka mau mengakui hal itu atau berusaha keras menyangkalnya); akibat berbagai faktor kompleks yang saling berhubungan...saya jadi punya ketertarikan tertentu untuk nyoba nyari jawaban dari kalimat “kenapa ya bisa sampe gini?”.
Nah, hal ini yang waktu itu, dalam tulisan saya berjudul “Merengkuh Sakit” pengen saya bahas dalem zine saya, :D yah, tapi karena ada hal-hal personal yang kemudian terjadi, gak jadi jadi juga saya mulai mu ngebahas hal ini. Mungkin terlalu panjang kalo saya nyoba bahas satu-satu tentang simptom-simptom yang saya penasaran di tulisan ini; jadi saya bakal nyoba nyambungin dengan bahas simptom yang lebih spesifik/fokus dalam tulisan berikutnya. Ah, kalian yang udah pernah baca uncivilized –terutama- bab Trauma Domestikasi mungkin familiar dengan apa yang saya omongin ini; bahasan yang nyoba “ngelanjutin” tulisan primitivis yang nulis tentang Trauma Domestikasi. Tapi menurut saya sih, tulisan itu kurang lengkap; karena dia gak sempet ngebahas sudut pandang-sudut pandang yang lebih melelahkan yang juga terlibat, semacam efek-efek psikologis dari bentukan “masyarakat penonton” (society of spectacle), generasi dengan arus informasi super cepat, efek psikologis dari tereduksinya makna hidup, dan keberadaan generator-generator identitas instan. Nah, justru karena ribetnya semua itu, kayanya pencarian jawaban dari pertanyaan sederhana tadi bakal jadi perjalanan yang sangat panjang; mungkin bahkan sampe mati saya belom bakal nemu kesimpulan yang sepenuhnya tepat dari pertanyaan “kenapa” tadi itu.
Yah, tapi sampe mati juga Freud belom nemuin konsepsi psikologis yang sempurna, jadi nampaknya penemuan jawaban yang sepenuhnya tepat itu emang gak akan kesampaian selama saya idup; jadi ya gak masalah। Tapi yang jelas, ini ngebuat semua hal yang pengen saya pelajarin secara otomatis jadi relevan dan urgent untuk saya mengerti; sekedar supaya saya bisa pelan-pelan ngebebasin diri dari jerat-jerat patologi yang udah dirajut dari sepuluh ribu tahun lalu ini aja. :) ah, kalo ada yang pengen bantuin saya nambahin atau ngritik, "ngoreksi",... saya tertarik banget looh... hehe.

Kamis, 22 Oktober 2009

Mengapa aku tidak tertarik kepada Islam dan Bisnis.


Why did you give me

So much desire?
When there is nowhere I can go
To offload this desire
And why did you give me
So much love
In a loveless world..
(Morissey – I have forgiven Jesus)


( Mecca, Januari 2009 )
Pada langit cerah diatasku, burung-burung hitam mengepakkan sayapnya dalam gerombolan. Masih menengadah, kupikir, aku tidak tahu burung-burung apa itu. Entah bagian mana dari kota yang konon sakral ini yang mereka huni. Apakah dibalik mesin-mesin kontruksi yang besar, tinggi menjulang, yang berada di balik mesjid besar ini; atau di atap hotel-hotel bintang lima dengan biaya menginap yang sangat-sangat tinggi yang berada di belakang mesin-mesin itu? Atau mungkin mereka sekedar membuat sarang diantara gundukan tanah yang membentuk bukit; gundukan tanah hasil pengerukan rumah-rumah yang digusur untuk membangun pusat perbelanjaan megah dan hotel-hotel mewah yang mengelilingi mesjid besar ini. Aku mengerutkan kening. Gundukan tanah itu tidak rapih. Ia masih berbentuk tumpukan rumah hancur, dan di sela-selanya masih berbentuk rumah yang rusak; haha, dan aku bahkan bisa melihat masih ada orang-orang yang hidup di dalam rumah rusak itu.
Sementara itu, di hadapanku, terdapat ratus-ribu orang berbaju hitam atau putih. Mereka sedang bersujud menghadap sebuah bangunan berbentuk kotak, yang diselubungi kain berwarna hitam.

Aku sendiri sedang duduk di tangga, bersembunyi dari ayahku yang sedang ikut bersujud massal. Beruntung untukku, jarak dari jamaah laki-laki dan perempuan cukup jauh, hingga aku bisa bersembunyi dari ayahku, melamun di tangga, sementara ia dan ratusan ribu ini sedang melakukan ritual mereka. Ia tentu mengira aku juga ikut bergabung dalam ritual ini.
Aku sama sekali tidak tertarik untuk mendatangi tempat ini. Bulan ini, aku berharap hanya harus mengunjungi ayahku untuk berbasa-basi dengan lingkungan kerja barunya. Ia baru saja dipindahkan ke Arab Saudi, sebagai promosi dari pekerjaannya. Dari sekian pilhan negara yang tersedia bagi pekerjaannya, entah kenapa ia harus tinggal selama empat tahun kedepan, di negara yang sama sekali tidak menarik bagiku. Karena ia selalu menginginkan efisiensi waktu dan uang, maka tentu saja ia tidak puas bila kami tidak sekalian mengunjungi kota ini.
Aku banyak mendengarkan dongeng mengenai betapa sakralnya kota ini.
Mecca.
Tempat dimana orang berdosa akan celaka. Tempat dimana hanya muslim yang dapat memasukinya. Kafir akan disesatkan, dan akan mengalami petaka. Konon, kota ini adalah tempat orang-orang melakukan ibadah mereka dengan khusyuk, tulus, penuh pengorbanan dan niat suci.

Ha.
Pada langkah pertama yang kupijakkan di kota ini, aku langsung menyadari kekonyolanku pada masa kecil. Aku adalah seorang kafir, yang sangat senang melakukan hal-hal yang mereka anggap dosa, dan aku baik-baik saja. Aku sama sekali tidak kesulitan menemukan jalan pulang ke hotel dimana kami menginap. Dari jejeran mall-mall besar, untuk menemukan hotel itu, aku hanya perlu melewati gerombolan pengunjung yang tidur/menginap di lantai halaman mesjid besar ini karena mereka tidak mampu menginap di hotel-hotel besar yang ada disana. Aku tidak tersasar, dan tidak ada kekuatan ajaib yang mencelakaiku.
Ini adalah kota suci yang aneh. Sewaktu kecil, aku tidak akan pernah menyangka bahwa bukan seberapa-rajinkah-kamu-beribadah lah yang akan menyelamatkanmu disini. Ternyata, seperti hal nya tempat-tempat pariwisata dengan jumlah pengunjung tinggi setiap harinya, yang kamu butuhkan hanya uang, uang yang sangat banyak, dan kamu akan selamat. Hei, dan konon bila kau sering datang, kau bahkan akan masuk surga. Konon, setiap kamu shalat di mesjid ini, valhalla yang kau dapatkan adalah beratus kali lipat dari mereka yang shalat di mesjid di bagian dunia lain yang tidak sakral. Karena itu, hasilkan uang semakin banyak, sering-seringlah shalat di titik-titik dimana valhalla yang dihasilkan sangat besar, dan hidupmu akan selamat—dunia dan akhirat.


Aku menatap menerawang ke langit.
Lampu neon logotype Meridien dan Hilton menyala terang disamping bulan sabit yang cantik.
Mereka yang tengah ditangkapi karena tidak menginginkan lingkungan mereka hidup dirusak oleh Semen Gresik di Sukolilo, atau di Medan sana; entah apakah mereka akan pernah mampu membeli tiket ke surga ini. Sementara keseharian mereka menyerupai neraka.

Islam, yang kupelajari dari semua muslim yang pernah kutemui dalam hidupku sejauh ini, dijalankan dengan hitungan dagang. Serupa bisnis. Sepanjang kamu pintar-pintar menjauhi yang dilarang, dan terus melakukan hal yang disuruh agar kamu dapat menabung valhalla, kamu akan masuk surga.
Sama sekali tidak ada masalah apabila setiap hal yang menguntungkanmu pada tiap harinya, merupakan kerugian bagi pihak yang lain. Meskipun kau bekerja untuk mengembangkan perusahaan yang menghancurkan kehidupan banyak orang. Meskipun kau tidak pernah memperdulikan apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini. Meskipun untuk gaji besar dalam pekerjaanmu, berarti banyak orang tidak memiliki uang untuk membeli pangan. Meskipun untuk hotel megah dimana kamu menginap, dan pusat-pusat perbelanjaan dimana kamu memuaskan hasratmu mengonsumsi, pasti ada orang-orang yang harus diusir dari rumahnya. Meskipun kau membiarkan sumber-sumber berita yang membentuk opinimu dipenuhi bualan, omong kosong yang hanya menguntungkan para pemiliknya: para penguasa dan saudagar besar. Meskipun setiap harinya, kamu berpura-pura tidak sedang hidup dalam posisi yang membiarkan sistem ekonomi yang menagih darah dan nyawa setiap detiknya ini terus berlangsung. Pintar-pintar menabung valhalla, menjalani yang diwajibkan, dan menjauhi dosa. Cukup itu saja.

Di depan Ka’bah itu aku meringkuk dan memejamkan mata.
Aku tidak mau spiritualitas seperti ini. Aku tidak butuh kota suci yang dipenuhi oleh saudagar serakah yang sibuk meraup untung dari gerombolan mereka yang haus valhalla.

Aku membenci negara ini; Arab Saudi. Negara yang menjadi kiblat orang-orang religius di tempat aku hidup, Nusantara. Kiblat semacam ini. Tempat dimana perempuan dilarang melakukan nyaris semua hal diluar rumah tangga mereka. Dan kau bisa menemukan rumah keluarga Saud dimana-mana. Seperti istana, rumah-rumah itu megah, luas, bertembok besar dan berpenjaga. Pada sisi lain kota, para pekerja imigran bergaji rendah berjejalan dalam angkutan umum yang berkendara diatas jalanan yang cantik dan bersih.
Ayahku sering bercerita, bahwa dalam pekerjaannya, ia seringkali shock melihat hal-hal yang dilakukan orang-orang disini. Ia harus ikut mengurusi pengadilan tenaga-tenaga kerja yang disetrika, dipukuli, dibunuh secara sadis (berdasarkan hasil forensik yang dilakukan terhadap mayatnya) oleh kepala keluarga setempat, atau bahkan dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Bagaimana seorang yang sangat kaya tetap tidak mau menggaji seseorang yang telah bekerja kepadanya selama puluhan tahun. Dan bagaimana passport orang-orang malang ini ditahan oleh majikannya, hingga mereka tidak dapat/sulit kabur. Ayahku juga sering bercerita tentang pekerjaannya yang dipersulit oleh pemerintah Arab Saudi yang sangat melindungi warganya, sehingga seringkali psikopat-psikopat ini lepas tanpa mendapat hukuman.

Dengan kiblat semacam itu, seharusnya aku tidak lagi heran mengapa di Nusantara tempatku tinggal, mereka memelihara gerombolan preman psikopat semacam FPI dan FBR. Atau mendukung partai yang mendanai gerombolan tukang pukul yang menamakan dirinya pembela kebenaran tersebut. Para pembela kebenaran yang senang memukuli dan mengacak-acak rumah seseorang yang membuka warung makannya pada saat bulan puasa, karena dianggap tidak menghargai bulan (yang lagi-lagi) suci tersebut. Meskipun warung tersebut kecil, orang itu miskin, dan entah makan apa yang mampu dibeli orang itu saat magrib bila ia tidak berjualan hari itu.


####


Mengapa aku tidak tertarik pada Islam (setidaknya yang dipercayai oleh orang-orang di sekelilingku), bukan sekedar karena itu. Dua minggu yang kuhabiskan di negara itu hanya menguatkan ketidaktertarikanku terhadapnya. Sebagian karena ibuku yang memaksaku untuk berpura-pura menjadi orang yang religius selama kurang lebih 18 tahun, dengan ancaman usiran dari rumah, berhentinya sokongan keuangan, dan tidak lagi dianggapnya aku sebagai anak apabila paksaan itu kutolak. Tahun-tahun yang kulewati di SD, SMP, dan SMA cukup untuk membuatku muak dengan kekangan mutlak yang ia paksakan. Beruntung untukku, sekitar dua tahun lalu aku menyudahi semua itu. Namun seperti layaknya orang yang muak dengan ruang tertutup setelah dipenjara selama 18 tahun, aku sungguh mati rasa dengan hal-hal yang berbau religius. Sebagian lagi, karena spiritualitas yang dijalani oleh teman-teman dan keluargaku yang muslim, yang tidak kuanggap sebagai spiritualitas yang kuinginkan.
Tapi aku tidak mengatakan bahwa aku tidak tertarik dengan semua muslim. Aku hanya ingin menjauh dari mereka yang memperlakukan spiritualitas mereka seperti mereka melakukan manajemen bisnis dan keuangan harian mereka.

Tadi malam, aku sempat menyinggung hal ini ketika mengobrol dengan Def, kekasih yang tinggal bersamaku. Ia sedang bercerita bahwa saat masih kecil, ia sempat mengalami insomnia selama berbulan-bulan. Karena itu, setiap tengah malam ia akan terbangun di ranjangnya dengan mata tertutup, gelisah dan berusaha untuk tidur karena tubuhnya lelah, namun tidak bisa. Ia berkata, seringkali ia terharu ketika pada tengah malam itu, ia mendengar ayahnya yang sedang berdoa dalam shalat tahajudnya. Terutama ketika ayahnya mendoakan harapan-harapan yang begitu manis. Hal-hal yang tidak pernah dikatakan oleh sang ayah dengan melankolis dan tulus seperti itu kepada Def sendiri. Kami membicarakan Doa. Hingga kami tiba pada kesimpulan, bahwa doa yang tulus tetaplah merupakan hal yang manis. Terutama ketika itu ditujukan bagi orang lain. Ia adalah harapan-harapan agar hal-hal baik terjadi, yang di afirmasikan secara fokus/khusyuk kepada sebuah mediasi tak kasat mata yang ada di benak. Menurut kami yang terpenting adalah, harapan-harapan itu tersampaikan, justru kepada diri sendiri. Untuk terus mengingat, hingga tiba harapan dan ingatan itu pada bawah sadar. Hingga kadang, keputusan-keputusan kita setiap harinya, dipengaruhi oleh harapan yang telah terpendam di bawah sadar tersebut.
Shalat yang tidak mengingat pahala dan kewajiban pun mengingatkan kami terhadap meditasi. Seperti halnya meditasi-meditasi pada beberapa agama lain, misalnya Buddha, ia dilakukan dalam posisi-posisi yang mendukung proses meditasi tersebut. Berdiri, rukuk dan sujud pada Islam yang meregangkan tubuh. Posisi sila yang tidak menghambat peredaran darah pada Buddha. Mengeluarkan bunyi-bunyian yang mendukung proses pemusatan pikiran kepada hal-hal diluar keseharian dunia. Doa-doa pada awal shalat. Suara ambiens yang harus dikeluarkan pada meditasi Buddha. Kesimpulan kami, Shalat adalah meditasi. Apabila seseorang dapat memusatkan pikirannya pada hal-hal diluar dirinya tersebut (masing-masing agama memiliki medium), misalnya tuhan, atau kekosongan, atau rasa; ia kemungkinan dapat mencapai titik ekstase, orgasme spiritual dimana hanya rasa tanpa kata yang tersisa darinya.
Dengan kata lain, dari sudut pandang itu, aku sama sekali tidak bermasalah dengan agama apapun. Menurutku proses spiritualitas seseorang baik untuk kesehariannya sendiri. Dan berarti agama bagiku hanya merupakan satu dari begitu banyak pilihan untuk menjalani proses spiritualitas. Ada yang memilih dengan mabuk, dengan meditasi stoik, atau meditasi kebisingan, meditasi keheningan, dan ada yang memilih meditasi dengan yoga atau shalat. Itu tinggal perkara selera. Kami juga membicarakan mengenai nabi.
Apakah bedanya nabi dan filsuf? Nietzsche dan Muhammad? Bila kamu menjawab bahwa perbedaannya terletak pada mukjizat dan wahyu; maka jawaban dari percakapan kami kemarin adalah perbedaan dari Nabi dan Filsuf terletak pada sejauh apa orang-orang di sekeliling mereka mempercayai omongannya. Apalah bedanya Muhammad yang pergi menyendiri untuk mendapatkan wahyu, dengan Nietzsche yang menyendiri untuk mendapatkan ide. Nabi dan Filsuf adalah para pemikir yang memiliki pemikiran mengenai “bagaimana sebenarnya kita harus memandang hidup”; dan itulah isi dari kitab mereka. Cara untuk memandang dan menjalani hidup menurut mereka; dalam Qur’an, dalam Thus Spoke Zarathustra, dalam Injil. Untukku, Agama adalah filsafat yang dipenuhi dengan kisah mukjizat dan keajaiban.

Yang aku benci adalah cara praktek agama yang mengamini kekuasaan kapital, serta memaksakan kebenaran yang mereka percayai kepada orang lain, dengan cara apapun. Pada titik itu, itu bukanlah lagi spiritualitas personal yang berada diluar pemikiran keseharian. Ia sangatlah banal, memuakkan, dan hanya mengamini pembentukan neraka bagi orang lain; demi membangun kondisi yang menyenangkan bagi mereka. Agama yang se-egois itu untukku adalah hal yang munafik, basa basi dan pengecut. Tidak ada sama sekali hal yang menarik dari melakukan sesuatu hanya karena kamu disuruh melakukannya, karena kamu menghindari hukuman bila tidak melakukannya, dan mengharapkan imbalan karenanya.
Agama seperti itu, hanya berpura-pura mencintai cinta dan kebebasan.
Karena yang mereka lakukan hanyalah menghidupi kebohongan dan pembenaran, agar mereka tetap dapat melakukan hal-hal memuakkan yang mereka lakukan dengan wajah tanpa rasa bersalah.
Tidak ada cinta di dalamnya.
Dan itulah mengapa aku membenci agama semacam itu, dan mengapa aku muak kepada bisnis perdagangan nyawa dalam sistem ekonomi kapitalisme yang terus mereka elu-elukan.

Agama seperti itulah yang kukira disebut Marx sebagai candu yang hanya berfungsi sebagai pengontrol agar mereka yang tertindas tidak mengamuk, dan agar mereka yang serakah dan mengambil keuntungan dari penindasan dapat merasa lebih baik dan 'suci'.


Selasa, 18 Agustus 2009

Kuburan

Kuburan,-menurut saya adalah hal yang cenderung absurd. Dan saya bukan lagi ngomongin ben populis yang bernama kuburan (walaupun ben itu juga absurd menurut saya, dan bakal segera dibuang segera setelah publik remaja mereka bosen sama sekelompok laki-laki dengan make-up ala KISS yang menari-nari bodoh,.semacam 'changcuters' versi metal gitulah buat kalian yang masih malas nonton tv).

Jadi supaya jelas, maksud saya disini adalah Kuburan dalam arti Pekuburan; graveyard. Komplek kapling-kapling organisme yang udah mati dan (akan segera) membusuk, tapi dipertahanin supaya orang-orang yang masih idup diatas tanah bisa pura-pura kalo mereka yang mati masih idup di dalem situ---atau seenggaknya bakal ngebuat mereka-mereka yang idup ngerasa kalo mereka mati bakal punya rumah, persis kaya waktu mereka idup (kalo waktu idup pengen tinggal di dalem boks-boks beton, mungkin wajar kali ya ngarep perasaan serupa juga didapetin waktu mati).
Yaya. Saya sadar banyak alasan orang-orang bersikeras buat masang kapling-kapling buat orang-orang tersayang mereka yang baru mati, selain alasan yang udah saya sebutin itu. Misalnya, alasan kalo di dalem agama mereka, hal itu disebutin sebagai cara ngeperlakuin orang mati secara layak. Karena, waktu mati nanti, bakal ada malaikat (atau setan, buat kalian hei para anak nakal) yang nemenin kita di dalem kapling tidur kita itu sambil nungguin dunia kiamat. Atau ada juga alasan supaya orang-orang yang mati itu bisa tiduran enak dan istirahat yang tenang, setelah cape ngejalanin hidup.


Buat saya sih, yang jadi masalah adalah kapling orang-orang mati yang menuhin jatah di bumi. Apalagi kelakuan orang-orang yang pengen kalo kapling-kapling kuburannya/keluarganya/sanak saudaranya pake disegel sama pualam, pager, beton, dan macem-macem itu. Terus kita turun temurun bayar biaya kapling (bagi yang mampu) supaya kuburan-kuburan yang malang itu gak ditimpa sama kuburan berikutnya. Saya mikir, apa jadinya kalo reproduksi semakin tinggi, dan (dengan sistem ekonomi dan kekuasaan yang apokaliptik semacam ini) orang-orang yang mati jumlahnya masif dan gak kekontrol? Apa kapling kuburan bakal ngebludak, dan orang-orang yang gak mampu bayar kapling buat dia idup (diatas tanah) bakal kegeser sama mereka-mereka yang mampu bayar kapling-kapling tempat tinggal para relasi mereka yang mati? Benar-benar ide yang absurd dan konyol, kuburan itu.
Masih mending kuburan yang cuma gundukan tanah dan nisan doang. Kalau yang dibeton dan dihias-hias sama pualam-pualam, arca-arca dan pager itu?
Dan kalau emang tujuannya "menyamankan" si mati, apa enak tiduran terus sambil bengong-bengong sampe hari kiamat? Ya, entah yang nemenin itu setan atau malaikat, kayaknya tetep aja bosen.

Saya sih milih buat percaya, kalo dah mati ya udahan. Ngebayangin kalo abis idup, terus mati, terus ternyata masih idup itu lumayan bikin saya stress. Idup aja udah lumayan capek ya, padahal masih bisa jalan-jalan dan maen-maen. Apalagi kalo mesti idup sama sesuatu yang gak saya kenal, bengong-bengong berdua sambil dikurung di boks, selama dua puluh empat jam dikali jumlah hari yang kesisa sampe hari kiamat. Astaga.

Saya bilang "saya milih buat percaya...blablabla..", soalnya jelas-jelas kita semua, ratusan juta manusia-manusia sok yakin yang masih berkeliaran diatas tanah ini; gak ada yang beneran tau (bukan sok tau) tentang apa yang bakal kita alamin setelah mati. Terutama karna pada umumnya, kita gak punya relasi-relasi yang mati, yang nyempetin balik lagi buat nyeritain apa yang mereka alamin setelah jantung mereka berhenti berdenyut.
Jadi, masih lumayan misterius; apa ternyata abis mati, "yaudah, tamat cerita". Atau setelah mati, ternyata memori kita masih idup, dan dalam memori itu kita ngalamin pemutaran ulang memori kita sepanjang idup (dengan kata lain, ngulang-ulang idup yang udah pernah kita jalanin waktu masih nafas). Atau ternyata kita reinkarnasi jadi babi atau sapi. Atau jalan-jalan sebagai hantu, atau pindah ke neraka atau surga, atau yang paling buruk ya menurut saya yang saya sebutin pertama tadi; bengong-bengong sama entah malaikat atau setan dua puluh empat jam kali jumlah hari yang kesisa sampe hari kiamat, dan gak bisa pindah kemana-mana dari tempat kita dibaringin. Oh. Mungkin sambil menghayati belatung-belatung yang lenggak-lenggok di sela-sela rongga mata kita (sedikit pilihan dari hiburan yang tersisa di dalam kuburan, nampaknya).

Saya kadang jadi suka mikir sendiri, kalo saya mati pengennya diapain ya? Maksudnya, saya ngarep baden saya diapain, dengan segala kemungkinan pengalaman-paska-kematian itu. Kalo dikremasi, lucu juga, tapi kalo ternyata baden kita belom bener-bener mati rasa setelah kita dinyatakan mati (secara ilmu biologi manusia); bayangan tentang ngerasain dibakar pelan-pelan sampe jadi abu gak kedengeran menarik. Ah. Tapi kalo gitu sih, dikuburin juga em...kurang 'menyenangkan' kayaknya. Ngerasain tiap detail sensasi indrawi di tubuh kita yang di dekomposisi pelan-pelan sama belatung-belatung, cecurut, cacing, kecoa, kumbang tai, serta segala teman-teman underground -bawah tanah- yang lainnya. Aww. Hihi. Atau ditenggelamin? Mati keabisan nafas dan kembung, terus ngeabisin sisa waktu sampe kiamat menghayati lumut-lumut yang intim menempel, dan kepiting-kepiting jail yang hobi nyubit pake capit, sambil merelakan tiap serpih daging dan kulit dicukil dikit-dikit sama ikan-ikan yang amis amit. (asa maksa yah, dikit. :D heheh)

Bayangan yang saya bayangin paling manis dan lumayan menyenangkan buat saya sih; setelah mati, idup saya sebagai manusia udahan --dengan kata lain, selesai udah urusan saraf-saraf indrawi, gak ada ngerasain fase dekomposisi baden paska mati--;
terus saya "idup" lagi, tapi bukan sebagai manusia. Bukan reinkarnasi jadi burung atau babi juga. Tapi jadi saripati tanah, yang diserap sama tanaman diatas tanah yang nutupin baden saya, yang ngebuat tanaman itu tumbuh subur dan cakep. Bukan berarti tanaman itu bakal jadi "tanaman berhantu" yang kalo dipotong tangkainya bakal berdarah merah, atau gimana...kesannya gak rido itu mah, sayanya. Visualisasi yang paling deket saya liat di film Fountain. Disitu, si Adam/manusia yang nyampe ke pohon kehidupan (yang ngejamin hidup abadi), malah ditumbuhin taneman dari tubuhnya. Dan dia malah mati, nyatu sama tanah.
Tanaman yang "tumbuh dari tubuhnya", tumbuh dengan lebat, sehat dan segar. Nah...kalo saya pengen hidup abadi, "hidup abadi" tipe gitulah yang saya pengenin. :) hidup abadi, tapi sebagai unsur alam (yang gak harus kasat mata), bukan jadi manusia melulu. Untuk proses matinya, sakit gakpapa, asal gak lama-lama amat. Makanya, kalo saya sekarat, koma atau apalah; jangan maksain saya tetep idup ya! Beneran, kalo gak ada harapan idup, saya pengen minta hak saya buat disuntik mati. Makanya, kalo saya sekarat dalam kondisi gak bisa komunikasi, tolong sampein wasiat saya ini yah, heheh.

Balik lagi, berarti ternyata, setelah saya mikir Kuburan itu absurd, saya pengennya dikubur juga kalo mati. Tapi saya gamau kuburan saya ada di komplek kuburan yang konyol itu. Pengennya ditanemin tanaman kesukaan saya diatas tanah yang nutupin saya. Dan setelah tanaman itu tumbuh, saya gak bermasalah sama sekali kalo ada kuburan laen yang perlu dibuat di tanah tempat saya dikubur. Siapa saya, buat ngeklaim tanah itu "punya" saya sampe akhir masa?

Ah. Saya udah mulai ngelantur lagi nih rasanya..
Hmm...tadinya saya mu ngomongin apa ya.
Oh ya.

Tapi, diluar pikiran saya kalo nguburin orang kedalem boks-boks itu aneh,...saya kok rasanya seneng-seneng gimanaa...gitu, sama citra pekuburan. Terutama pekuburan tua, hehe. Pekuburan tua yang udah rada ancur-ancur, cenderung gak kerawat dan dirambatin tanaman, dan ada kuburan-kuburan yang udah kebuka-nya, gara-gara hujan, dll selama berpuluh-puluh taun. Yang berarti, tulang belulang yang belom sepenuhnya didekomposisi itu berada dalam posisi semi terekspos, dan sedikit mengering.
Itu semua seolah ngasi atmosfir dan suasana imajinasi yang misterius buat saya. Toh, gimana juga, kematian dan kehancuran alami itu masih misterius dan eksotis.
Dark, dark, macabre.
Gelap, eksotis, menakutkan, bikin penasaran yang cenderung senang.
:D ah. Saya jadi pengen kencan ke Kuburan tua. Sekalian belajar gambar tentang tema-tema gelap juga, langsung dari objeknya.
;)

Nah. Ada yang mau nemenin saya.?

Selasa, 12 Mei 2009

Sick zombies

Whoever told me that human is holier than any other animals,
they've been telling me lie.
Whoever told me that human's life more important than the life of every other species in the earth,
they must be such a life killer.


Whoever told me that human existence gave blessed progress to the whole earth,
well they must be a dumb fuck.
Whoever been telling me that technology made life's more bearable,
they must have such a void life.


Whoever been telling me that what made human being human is our normative values, materialistic standard, decent behaviors, living behind safe concrete, possessive friendship, rapid-productive life, predictable-safe(/boring) love relationship, our ability to build modern civilization, our 'clever' way to survive (producing-consuming more food, products, than we ever needed--only to give ourselves some faux sense of securities), being A part of The Great Machine...



Well they must be zombies.



crazy, sick, psychopathic zombies; infested with their arrogance, guilt, fear, fear, cock fear, cunt fear, death fear, fear, zombie, holy, sick, 'intelligent', sick, polluted, sick, miserable, sick, void, sick, normative, sick, fetish, sick, frantic, sick, sick, proud, pathetic, sick zombies..



..
When Adam (Human) meets Eve (Knowledge about life), and their losing their innocence;
deciding to be agriculturalist rather than hunter-gatherer/some kind of clever animal.


They might never know, how they just dig a grave to hell for the whole earth.

Jumat, 04 Januari 2008

flying,, is for this..

not an actually new thing, but again fly this night.


i thought i am happy, but closing my eyes in this mid of night, having blabbering of my friends around me as some backsound..... having this adam ant song banging in my head, repeating it self over....and over again.... i know im lying. but im stuck. how could u forgive someone who's running from its 'happiness'??


but i lied....
(now that i finally said that, dear mr.adam ant, would ya please shut the fukkup??)




im happy,...yeah still i know im lying.



but this condition is perfect and u can say im happy...




based on several comparison....





yeah......




oh my shit what am i talking about? this wine gets me to my worst. as it always. as if its my own personal lucifer, done its only well done job ----force me to get face to face with the truth i knew i desire. well. in fact,hesitate to desire.



but hell why i care anyway. this is just going to end so soon...as soon as it is also begin....



adam ant said that, thus he repeat it over and over again in my head....
i dont befriended with adam ant. why hell i care. why hell his song.....



anyway.


the stars keep hitting my head as im writing this page, and its getting even more clear as i close my eyes,.... and it gets even as clear as i slowly open my eyes,
watching the cigarette smokes flying tenderly through the cynical light of my tiny pc to the dark ceiling of my room, where my friends still chattering around, laughing and crying its heart out, uncontrollably.

i watch the smokes fly and teared and shattered as my mind is teared and shattered.
i may say my heart is, but i hate to say heart. as if i had anything beside my mind. because heart is fed by truth, and mine is barely even suffocate anymore,,as if its still alive.

haha


urgh. :D well yeah honey whatever.



(as my friend, 'crimethought' said one day that i am running from my happiness as i scared to be happy since im scared to be suffered of any quake of my contentness....)




are we live to be contently happy??




im happy?
and i wanna die.

im truly happy that my physical condition's lately allow me to let me loose.....of any 'too much expectations of living',,..now that i could be dying anytime.

it relief me to realize (or to think?) that whatever happen, my life's belong to earth and thus so my death.


and nothing's going to change in the universe. :)
simply a mere soul coming home to where it is belong.....
to the world.... to the air.... to the soul of anything, if its going to reincarnate anyway,....
to the warmth of the hell of freedom, if the conventional religiousts was right anyway...

to simply shattered and gone.....



hell, what a freedom...


bliss of freedom at last after doomed by the curse of freedom in the mortal earth...
as sartre might be right when he said we might have been cursed by freedom





and my dear lu,, sweet honest-god lucie, lucifer... just slapped me again while i sip some next big gulp of this honey wine.....


He said that 'Now u are running again from facing ur truth with blabbering ur melancholy shit of death'.
And I answer (i actually said this pretty loud) 'I Know'.



then he let me flying again.....
..just to break fall to the earth, when the person i supposedly really adore is finally sleeping (as all my friends are,now), and seeking my hand to hold on to.



to pierce me with the fact that i am now cursed with this 'content happiness' where im tearing apart, losing me.



and to slapped by the fact that
well yeah


flying is for this, anyway, :) .....................................................................

to slapped meaninglessly by the truth That I Am neverendlessly wanting those Uncontently Happiness,...

And to forget ALL about this when the sun rise on its highest pitch when i may awake,


a fly for simply a slap. a mere a slap of truth, and continue with my half hypocrite living.



A slap,.
which will ended now, as i began to feel that this is silly and bullshit (as i know u might think while ur wasting r time here, honey.)..............and trying to close my eyes....................





To be

Slapped.
And shut the fukkd up.