Jumat, 25 September 2009

Merengkuh Sakit.


Yang paling aku inginkan saat ini adalah kebisingan absolut…yang menyenangkan dan indah. Yang menyelimuti, mencakupi, dan menutupi segala kesakitan, kegagalan, serta kesia-siaan kata-kata.

Dinding-dinding merah berlumut yang berhiaskan corat-coret galau berwarna hitam, lantai keramik dingin berwarna putih yang tertutup oleh baju dan dokumen yang berserakan, tumpukan gelas kotor yang diletakkan di sudut tangga… sudah nyaris dua tahun, kamarku ini menemaniku saat tinggal bersamamu, sekaligus menjadi sandaranku tiap saat kamu memutuskan untuk pergi dari sini.
Matahari pagi ini terasa menyilaukan. Mungkin karena mataku tengah menyipit dan sembab.
Semua ini; kelelahan akibat menangis, malam tanpa tidur, pertukaran kata yang sedikit namun sangat menyakitkan, berbagai lebam, luka bakar, dan luka gigitan yang masih segar di tubuh kita masing-masing... serta aku yang memohonmu untuk memberikan peluk terakhir… sungguh serupa dengan pagi hari di kamar yang kau sewa di setiabudhi, pada tanggal tiga maret tahun lalu. Namun saat itu, kamu masih lembut dan bersedia memeluk hangat. Saat itu, kita masih seperti dua bocah yang nyaris tak pernah bisa terpisah lama-lama. Dan saat itu, kita tengah membulatkan tekad untuk mengambil pilihan masing-masing, sekaligus menjanjikan konsekuensinya: kita akan berpisah sementara, hingga salah satu dari kita berubah pikiran dan berpindah pilihan.

Sudah satu tahun delapan bulan semenjak hari itu, dan begitu banyak sakit hati yang telah kita pertukarkan. Hubungan kita tereduksi akibat intensitas bertemu yang berkurang drastis, hal-hal baru yang kita masing-masing coba, dan keintiman emosional yang berfluktuasi tanpa pola. Hingga bulan-bulan lalu, aku telah cukup berhasil untuk mencoba menerima, bahwa nyaris tidak ada yang tersisa dari kita. Walaupun memang terkadang, bila murung; aku menyalahkanmu secara subjektif, dan menuduhmu meninggalkanku, meskipun kamu telah begitu akrab dengan tendensi-tendensi psikologisku yang konyol. Kepergianmu, sesungguhnya merupakan salah satu dari sekian penyebab guratan-guratan luka yang sempat kuletakkan di tubuhku, sekaligus pemicu keintimanku dengan inferioritasku yang sebelumnya kukurung sangat rapi.

Bulan-bulan terakhir ketika wujudmu mulai hadir lagi dalam keseharianku, segala simptom ‘despair’ itu telah memupus dari pikiranku. Aku kini mulai dapat menemukan kembali kesenangan dalam eksplorasi-eksplorasi sederhana seperti menggambar, menerjemah, menulis, serta menambah varian dalam eksplorasi seks dengan kekasih-kekasihku.
Entah kenapa pada saat ketika aku mulai mencoba menyegarkan diriku inilah, kamu mendekat. Kita mulai iseng menyempatkan waktu untuk menginap, sekedar bertukar cerita tentang kekasih masing-masing, kegelisahan-kegelisahan harian, dan menertawakan kekonyolan-kekonyolan yang pernah kita lakukan dengan penuh keyakinan. Terkadang, bila situasi cukup menyenangkan, secara alami kita mengalir kedalam permainan seks yang telah berkembang dan berbeda dari permainan kita dulu. Aku ingat beberapa minggu lalu, aku merebahkan kepala di dadamu yang telanjang, di tengah pelukanmu yang khas, sambil tersenyum mendengarkan cerita lucumu tentang pasangan terakhirmu. Saat itu aku berpikir, betapa aku merindukan kamu dan cerita-ceritamu, suasana kita yang seperti ini. Tawamu yang riang dan celotehmu yang cepat dan ceria, matamu yang berkilau-kilau dan menyipit ketika sedang menceritakan hal yang kamu senangi.

Malam kemarin, kamu datang ke kosanku untuk sekedar bermain dan mengunjungi kami bertiga; aku, seorang mantan pasanganku, dan kekasihku. Kau bahkan sudah cukup akrab dengan mereka, untuk bisa bertukar cerita dengan santai dan bersemangat, seperti yang biasanya kamu lakukan. Kamu juga membawakan makanan masakan ibumu untuk kami makan, karena persediaan makan kami sudah habis. Ketika kekasihku dan mantanku memutuskan untuk pergi ke Bandung, dan aku memilih untuk tinggal di kamar karena masih merasa malas dan lelah… aku sebenarnya sama sekali tidak berharap ada hal spesial apapun yang kita lakukan.
Sesuai ekspektasiku, setelah hanya kita berdua yang berada di kamar; aku bermalas-malasan di depan komputer, dan kamu menonton dvd di sebelahku. Kita bahkan tidak berbincang, dan kita sama-sama tahu bahwa aku menginginkanmu disitu hanya karena aku sedang tidak ingin sendiri, dan kamu pun sedang tidak memiliki rencana lain.
Dalam keheningan yang nyaman dan hanya diisi oleh suara film dari speaker, desing mesin komputerku, serta suhu yang panas di dalam kamar… terpikir olehku, bahwa aku ingin mencicil isi tulisan untuk zine yang hendak kususun. Maka aku mengajakmu pergi jalan-jalan keluar untuk menyisir jalanan jatinangor yang masih sepi paska lebaran, sekedar untuk mencari udara segar dan membeli arak, aku berpikir, minum sedikit, tidak perlu sampai mabuk, akan cukup menyenangkan untuk menemaniku menulis dan menonton film bersamamu, sebelum kita akan tertidur pulas.
Akhirnya kita berdua melompat dan berdiri, mencoba untuk lebih bersemangat; kemudian kita berpapasan sejenak dengan cermin panjang yang telah kumiliki semenjak masa awal aku menyewa kamar ini untuk tinggal bersamamu, ketika aku hendak memulai kuliah dua tahun yang lalu.
Kita tersenyum dan saling membandingkan tinggi kita yang sedikit berubah sambil menatap cermin itu. Lalu kita saling menoleh… aku bertanya iseng-iseng, saya gigit kamu ya? Dan kamu menjawab, coba aja. Aku menggigitmu pelan di bagian bawah belikatmu, dan secara berangsur mengeraskan gigitanku. Kamu mengerang. Ini berlangsung beberapa lama, hingga aku tertawa, hendak melepaskan gigitanku dan mengambil sepatu, namun kamu justru menahan tubuhku hingga tidak dapat bergerak. Kamu menatapku lekat. Pipimu kemerahan. Pola ini, sungguh familiar bagiku. Aku kurang lebih tahu, apa yang tengah kamu inginkan… maka aku menyeringai, dan menggigit lehermu. Selagi aku menggigit lehermu, kamu membalas dengan gigitan-gigitan kecil di leherku, dan diselingi jilatan-jilatan pada daun telinga dengan tempo yang semakin intens.
Kita memang telah melakukan ini pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, maka percampuran menyenangkan antara stimulasi rasa sakit dan rangsangan seksual ini tidak asing bagiku. Lagipula, aku dan kekasih-kekasihku memang sedang mengeksplorasi ruang yang serupa. Kemudian, kamu menciumku perlahan, dan berangsur mendalam. Tanganmu bergerak naik ke leherku. Kamu mencekikku semakin keras, dan menciumku semakin dalam. Kita saling bergumam, di sela-sela cium yang berkelanjutan, tentang pergi keluar untuk membeli arak, namun kita terus melanjutkan apa yang sedang kita lakukan. Lalu seperti sebelumnya, kita mengalir kedalam permainan seks yang berisi rangsangan rasa sakit, seperti mencubit, menggigit keras, mencakar, mencekik dan mencium dalam waktu yang sama. Permainan yang intens dimana kita bahkan tidak perlu saling bertukar kata. Kita hanya bertukar tatapan dan stimulasi indra. Selama waktu yang cukup lama. Kata yang sempat kukatakan sekilas hanyalah, kamu sungguh semakin berkembang.

Ketika kita selesai, kamu merebahkan kepalamu di pangkuanku, selagi kita mengatur nafas. Kamu mendongak, kita saling bercanda… dan ketika aku lengah, kamu menamparku sangat keras, yang setelah jeda sepersekian detik langsung kubalas dengan tamparan yang tak kalah kerasnya. Ada sedikit suara mendenging di telingaku. Tapi kita justru serentak tertawa lebar dan lepas. Kamu berceloteh tentang bagaimana momen itu mengingatkanmu kepada sebuah cerita yang kamu baca dalam kumpulan kisah Marquis de Sade yang sedang kamu senangi. Aku ingat, saat itu, aku merasa seolah ada sebuah lapisan es terakhir yang runtuh diantara kita. Dan aku telah begitu lama tidak merasakan perasaan selega itu, perasaan yang sangat familiar, yang sangat langka kurasakan dalam tahun terakhir.
Kita bahkan melanjutkan ke permainan kedua yang sepenuhnya berbeda, setelah kamu berpacaran dengan kekasihmu melalui situs sosial di internet, dan kemudian memintaku untuk menonton film bersama, kamu berkata, itu karena kamu ingin melakukan sesuatu bersamaku. Aku yakin kamu memang berniat menonton film itu, meskipun pada akhirnya kita tidak menonton film tersebut sama sekali.
Kali ini, hal yang kita lakukan sepenuhnya baru. Sebelum kita memulai, kamu meminta untuk kuikat, kusakiti, dan kupermalukan, seperti yang dahulu pernah satu kali kita lakukan saat masih tinggal bersama. Maka aku melakukannya. Kombinasi antara lilin dan guratan. Kamu meminta, jangan tinggalkan luka yang permanen. Maka, tidak seperti malam sebelum kita berpisah tahun lalu, tidak ada sundutan bara rokok dan guratan belati berkarat. Kali kedua ini, kita menyelesaikannya dengan cenderung cepat,… dan ketika ikatanmu terbuka, kamu tertawa-tawa bercampur kegemasan ingin membalas.
Wajahmu sungguh menggemaskan, namun pada saat yang sama aku juga merasakan perasaan terancam yang menggairahkan. Kamu, adalah lelaki pertama dan masih satu-satunya, yang bertukar peran denganku. Dimana kamu mencoba tenggelam dalam rasa sakit, terancam, dan tidak berdaya yang dibalut dengan berbagai rangsangan seksual; dan aku menyalurkan hasratku untuk mempermalukan, mendominasi dan menyakiti. Aku mengatakan terimakasih kepadamu, karena kamu membiarkanku melakukannya. Dan masih tertawa-tawa sambil berceloteh, kamu mengatakan hal yang sama.
Momen itu, adalah momen yang sungguh menyenangkan dan menenangkan bagiku. Aku merasa seolah kesuramanku perihal hubungan denganmu selama setahun kebelakang, secara seketika terhapus begitu saja. Aku menatapmu lekat sambil terdiam dan tersenyum kecil. Aku sungguh-sungguh merindukanmu, dan kedekatan kita yang seperti ini.

Kamu terus mengatakan bahwa kita harus bertemu lagi, dan aku harus bertukar peran denganmu, kamu berkata, bahwa aku harus mencoba rasa tetesan-tetesan lilin panas dalam keadaan terikat itu. Kamu sedari tadi memang menolak untuk menceritakan rasanya, dan bersikeras bahwa kamu harus membuatku mencobanya sendiri. Kamu tengah menegaskan hal itu, ketika mendadak kamu terdiam. Menyadari akan ada sesuatu, aku berhenti tertawa-tawa.

Kamu berkata, mmm… nggak jadi deh. Da, kita jangan hubungan badan lagi ya. Saya pengen temenan aja sama kamu.
Aku mencoba memperjelas, maksud kamu gimana?
Kamu menegaskan bahwa kamu ingin perubahan dalam hubungan kita, kamu ingin mencoba sekedar berteman denganku.

Apa tidak cukup jelas, kenapa aku terperangah? Sebelum kamu mendekat, apalagi yang aku anggap tersisa dari kita selain pertemanan? Seolah kamu harus perlahan membuatku gembira dan mulai terbuka, sebelum kemudian kembali membuangku lagi ketika aku lengah dan melayang, mencoba membuatku kembali terpuruk kedalam lubang hitam dimana kamu pernah meninggalkanku sebelumnya.
Setelah itu, kamu bahkan tidak mau memelukku.
Aku kemudian mengunci mulutku dan tidak membahasnya.
Aku mencoba mengalihkan pikiranku, dan bereaksi dengan datar. Aku ingin kembali mengunci rapat-rapat segala benteng perlindungan yang sudah kuruntuhkan sedikit demi sedikit di hadapanmu. Aku menyalakan komputer, dan mengakses internet. Sedikit keberuntungan, kekasihku yang tengah terjebak di Jakarta sedang online. Maka di depanmu, aku langsung menumpahkan kemuramanku kepada kekasihku. Aku memang ingin bercerita kepadanya, dan aku sangat membutuhkan canda-canda segar nya saat itu; namun aku sekaligus ingin menumpahkan kebencianku kepadamu, di depan matamu, dan bukan dengan kata-kata untukmu. Aku ingin kamu tahu apa yang aku rasakan, tapi aku menolak untuk berbicara langsung kepadamu.

Kamu tahu? Aku selalu diam-diam sedikit berharap kamu mengingat kata-kata yang kita pertukarkan satu tahun delapan bulan yang lalu itu. Bahwa setelah salah satu berubah pikiran, kita akan kembali begitu saja. Kenyataannya, selagi waktu mengalir, kamu lah yang berubah pikiran dan mulai memiliki beberapa kekasih sekaligus, seperti yang aku lakukan. Aku tetap diam selama ini, karena aku sadar betapa naïf nya pengharapan bahwa kamu masih akan menganggap perjanjian itu. Walaupun begitu, aku masih membiarkan sedikit harapan mengendap di pojokan, dan aku menunggu… satu tahun delapan bulan. Kekasihku itu mencoba menghiburku lewat layar chat, dengan menjadikannya bahan candaan. Dahulu, pernah ketika ia secara naïf menunggu seorang kekasih yang memintanya untuk menunggu; ia tetap menunggu orang itu selama satu setengah tahun. Ia berkata, bahkan sebodoh-bodohnya saya, saya nyadar dua bulan lebih cepet dari kamu. Ia sempat membuatku tersenyum. Tapi perasaanku masih terasa sungguh pahit. Dan kamu, kamu hanya bergumam-gumam kecil di sebelahku. Aku merasa dihianati, tertipu, dan aku benar-benar ingin membencimu!
Kamu berhasil membuat kita mengobrol sejenak mengenai apa yang kupikirkan, sebelum kamu terus mengalihkan pembicaraan kepada hal-hal lain. Aku membenamkan kepala dalam bantal. Mataku secara sukarela mengalirkan air. Baru beberapa lama matahari terbit, dan kamu memutuskan untuk pergi.


Aku menghabiskan hari ini mengurung diri di tengah dinding-dinding merah kamarku, dengan lampu yang dimatikan. Aku menyalakan lagu keras-keras. Aku hanya ingin kebisingan, karena di tengah kebisingan lagu, erangan-eranganku tak akan terdengar. Aku tidak menginginkan ada sisa keheningan untuk berpikir. Dalam kebisingan yang intens, yang tersisa hanyalah emosi dan rasa.
Seperti yang kamu selalu tahu, kehilangan adalah kelemahanku yang terburuk.
Dan selagi kamu terus menerus membuatku terpuruk dengan melakukan permainan buka-tutup kepada lukaku, aku terus berharap aku bisa menghimpun kekuatan untuk membencimu. Bukankah dalam hidupmu yang kamu anggap permainan, aku hanyalah salah satu dari sekian permainan yang tersedia? Dan aku, sangat lemah dalam menerima hal itu.
Aku sempat berpikir untuk mencoba tidak menemuimu lagi, untuk waktu yang sangat-sangat lama. Ada rasa sakit dalam perasaanku, yang sungguh jauh lebih menyiksa dibandingkan sakit pada tubuh. Ia adalah sesuatu yang membuatku takut. Ia adalah bayangan pada cermin ditengah malam yang bercahaya minim, yang aku hindari. Ia menuntutku, untuk membalasmu.

Hari ini, dinding-dinding merah ini meredam suara dari kamarku yang dipenuhi dengan kebisingan dan berbagai ekspresi kegalauan yang agresif. Hingga aku tiba pada titik, dimana aku merasakan kebutuhan untuk mengkonfrontasi rasa kehilangan ini. Mungkin aku memang butuh untuk membencimu, tapi aku harus merangkul rasa sakit ini. Aku tidak ingin lagi dapat terjebak dalam perangkap menyakitkan yang sadar tidak sadar kamu ciptakan. Aku butuh untuk memahami seluk beluk diriku, dan lebih mampu untuk meresapi hidupku karenanya.


Zombie-zombie di luar sana, aku tahu mereka merasakan sakit,..namun bukankah mayoritas dari mereka memilih untuk menyangkalnya dan mengalihkannya kepada hal-hal delusional seperti posesi material, citra, agama, surga dan tuhan? Untukku sendiri, mereka yang tidak dapat memahami rasa bukanlah orang yang hidup. Dan orang yang menyangkal dan lari dari rasa sakitnya, tidak akan pernah memahami dirinya.

Sejujurnya, saat ini aku sangat ingin membencimu, tapi ada suara yang berkata di dalam diriku, bahwa mungkin suatu saat aku akan mengatakan terimakasih kepadamu untuk rasa sakit ini. Mungkin kemudian nanti, aku akan beranjak pergi dari kebutuhan untuk membencimu; orang yang sempat sangat-sangat aku sayangi.


I want to understand pain, in order to comprehend pleasure.
Without any understanding of one’s own feeling, there’s no point in living.