Sabtu, 28 November 2009

Mental Detox I : Nyoba puasa digital :D

Kalo satu dekade ke belakang mungkin masih relevan buat kita nyoba nolak TV sebagai sumber informasi dan sumber pengaruh pola keseharian, polarisasi dan kecenderungan mental...kayanya udah lewat zamannya. Hari ini, ngapain kita mesti adiksi sama tv ketika kita bisa pindahin adiksi kita ke tawaran (yang jumlahnya gak keitung) dari dunia digital? Imajinasi-imajinasi gak berujung dari ps, pc game, online game, social-network, mp3 dan video? Kebanyakan dari kita perlu untuk ngeblokir diri dari realitas yang kering, suasana yang bising, musik yang gak kita suka; kita perlu digitalized, dan asupan listrik itu mutlak pentingnya! Dan ketika kita bisa dapet informasi apapun yang kita mau dari search engine, penjelasan instan dari website-website review dan wikipedia; kenapa kita mesti repot-repot baca buku? Kalo bisa ketemu semua temen lewat internet, ngapain sering-sering ketemu kalo gak perlu-perlu amat? Itu kan berarti ongkos, usaha, dan energi. Ngapain curhat berulang-ulang kali, kalo bisa sekalian lewat blog? Capek-capek berusaha ngenalin karakter temen, kan ada situs network sosial dan chatting kalii. Hari ini, memang nyaris semua kebutuhan psikologis kita dipenuhin sama dunia digital...mulai dari kehidupan sosial, imajinasi, "adrenalin", dan proses kreatif.

Tentu aja, saya termasuk dari ratusan juta yang teradiksi dengan listrik dan dunia digital. Kalo listrik mati selama satu atau dua bulan, mungkin saya termasuk salah satu dari ratusan juta orang yang stress. Saya masuk dalam generasi yang udah kebiasa sama alat-alat elektronik, dan kemudahan komputer semenjak dekade pertama dalam hidup saya. Dan semenjak era internet, saya selalu haus akan pengetahuan apapun; apapun yang muncul di benak, emang tinggal ketik dan klik buat cari tau. Informasi masuk dalam kecepatan tinggi, bertumpuk-tumpuk, dan gak kestruktur.

Apa yang salah dari ini, selain ketergantungan saya sama listrik dan berkurangnya porsi relasi langsung saya sama dunia nyata di sekeliling saya?
Saya belom tau, tapi jelas ada sesuatu yang aneh disini. Jadi, untuk satu minggu kedepan (atau lebih, kalo saya bisa, haha) saya mau nyobain puasa digital. Saya cuma akan make hape saya yang gak bisa online, gak punya game dan gak bisa nyetel musik/video itu; kalo bener-bener perlu doang. Misalnya perlu kontak dadakan buat tau dimana tempat janjian sama temen-temen pindah atau apalah. Tapi lepas dari itu, saya mau nyoba kembali ke beberapa dekade kebelakang, haha. Dan itu berarti nerjemah manual (tulis tangan), nulis di buku tulis, baca buku, dan lain-lain.


Yah, sebenernya ide ini muncul bukan tanpa pengaruh info yang saya dapet secara digital juga sih; ironisnya, info ini saya dapet dari adbuster, ketika saya lagi browsing iseng-iseng sambil begadang tadi malem. Ada beberapa info yang menarik perhatian saya; video tentang generasi di Korea Selatan, area yang disebut sebagai paling terkoneksi/wired di dunia, tentang anak-anak badan yang bertumpuk lemak karena jarang gerak, kebanyakan di depan komputer. Tentang saling nutup dirinya orang-orang dari lingkungan sekitarnya, dan semua orang sibuk dengan perangkat elektroniknya masing-masing. Oke, disini emang belom separah di video ini. Saya gak overweight, masih ketemuan langsung sama temen-temen saya,... Tapi saya gak bisa nyangkal, kalo kita semua emang sampe level tertentu gak bisa lepas dari perangkat elektronik kita.

Setelah itu, saya janjian sama beberapa temen saya buat nyoba eksperimen kecil ini sampe beberapa lama kedepan. Mungkin perbedaan yang saya rasain itu nanti bakal saya tulis disini juga, hahaha... Sip, buat yang pengen liat link yang saya baca itu, bisa klik di sini ya.

Minggu, 08 November 2009

Psyche I: Karena kita semua terlanjur gila.


My little empire,.

I'm sick of being sick
I'm tired of being tired
I'm bored of being bored
I'm happy being sad
Happy being sad
-- Manic Street Preachers

We need and we will always need
Another invented disease
We need and we are taught to need
Another invented disease
-- (also) Manic Street Preachers


Semenjak menurut saya kebanyakan orang yang pernah saya jumpai, kenal, atau juga berhubungan secara sosial itu absurd, saya mulai nyari-nyari penjelasan tentang apa emang cuma saya yang mikir gitu, atau emang secara ‘ilmiah’ (atau dengan kata lain menurut teori psikologi yang udah ngelewatin pengujian-pengujian—yang walaupun gitu belom secara pasti ngebuktiin kalo teori-teori itu bener adanya, dan bisa selalu kepake di generasi apapun karena psikologi manusia itu selalu berubah ngikutin perkembangan peradaban) juga gitu. Ternyata, setelah baca-baca beberapa (ya, emang belum sangat banyak sih) artikel dari DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) , misalnya, atau wikipedia, atau apapun yang bisa saya temuin di google, link dari temen atau buku; nah, ternyata emang secara ‘ilmiah’ pun; kita semua emang gila.
Kelakuan-kelakuan sehari-hari yang diamini dalam masyarakat modern hari ini, bisa ditemuin dalam gejala-gejala mental disorder dalam psikologi modern. Dan itu yang bikin saya gak ngerti kenapa kita perlu psikiater buat nyembuhin orang-orang yang disebut ‘sakit jiwa’...karena kita semua ternyata ngalamin ‘mental disorder’---hei, bahkan para psikiater itu. Dan apa jadinya kalo orang-orang gila sok sok berusaha nyembuhin orang gila laen? Kegilaan yang bakal tanpa henti; menurut saya itu jawabannya. Terus apa masalahnya kalo semua orang itu gila? Ya gak apa apa, justru buat saya itu intinya. Karena kita semua udah gila, jadi kegilaan itu normal, dan bahkan udah gak perlu diklasifikasiin lagi sebagai ‘abnormal’ sama para psikiater sok tau itu.


Oke supaya jelas mendingan saya mulai kasi beberapa contoh "pola tingkah laku patologis" modern.
Kebanyakan anak-anak zaman sekarang (yang saya bisa temui, kenal atau temenan, lagi-lagi), punya ketertarikan yang sangat besar sama diri mereka sendiri, dan entah gimana caranya, juga ngerasa kalo masalah-masalah pribadi mereka sangat unik dan perlu diketahui sama banyak orang—atau minimal temen-temennya. Menyerupai grandiosity; orang-orang yang diklasifikasikan sebagai mania ini ngerasa kalau kediriannya sangatlah spesial dan terdapat misi-misi raksasa yang harus dipenuhi dalam hidupnya; seringkali, mereka didapati nampak seperti yang selalu euforia: mania berbicara dengan kecepatan luar biasa, gak terlalu butuh tidur karena terlalu banyak hal yang ingin dipikirkan-dilakukan (jadi perubahan waktu jadi gak kelacak), dan memiliki pemikiran yang terus salip menyalip di dalam kepalanya. Mungkin sulit untuk terus mengikuti apa yang ia pikirkan. Hal ini, umumnya meningkatkan stress pada hubungan-hubungan sosial mereka; yah, mungkin karena kedirian individu yang mania akan menjadi lumayan melelahkan :) karakteristik umum individu mania adalah grandiosioty (perasaan "kebesaran" diri), obsesif, dan tidak akan menerima bahwa ada sesuatu yang absurd dengan dirinya. Gejala mania dalam tipe ringan disebut hipomania; dan ketika individu mania yang seringkali euforia ini juga memiliki kecenderungan depresif, akan terjadi episode campur (mixed episode), dimana mania yang seringkali euforia juga mengalami disforia yang manic. Individu mania, mungkin akan nampak seperti individu yang sangat sangat impulsif. Haha, tapi gataulah. Dengan kecepatan input informasi yang masuk di jaman ini, kebanyakan anak muda mungkin gini deh. Some kind of generation-thing? yah, jelas gak semua orang gitu, tapi maksud saya ini efek yang logis dari desakan pengaruh dari berbagai ide, referensi dan teori yang memasuki kepala-kepala kita... "damn, so many things to do and how can i ever do enough to living this life to its maximum???".
Mania; emang secara permukaan nampak menyerupai ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder) alias ngalamin kesulitan berfokus terhadap sesuatu, tapi sekaligus cenderung hiperaktif. ah, tapi ini gak terlalu masalah sih kayanya kalo orang-orang sekitarnya gak keganggu (atau individunya jadi makin stress atau saking seringnya mixed episode sampe masuk tahap bipolar, dimana pergantian euforia-disforia nya bakal berlangsung dengan sangat cepat sampe tendensi buat jadi skizofrenik mulai menguat).

Contoh yang sama-sama seringnya ditemui juga; adalah obsesi dan ketertarikan personal/emosional yang luar biasa sama objek-objek tertentu. Lebih spesifik lagi, ketertarikan pada objek-objek tertentu ini juga ngehasilin gejolak emosional tertentu buat si individu...nah, yang ini dikenal sebagai fetish. Fetish, bukan cuma ada secara seksual, tapi juga fetish komoditi. Kalau fetish seksual berfokus sama hal-hal tertentu yang ngehasilin rangsangan seksual yang besar; fetish komoditas gak harus ngehasilin rangsangan seksual, tapi sekedar ‘hubungan personal’ sama perbendaan—komoditi. Komoditi, tentu saja, adalah hal yang bisa kita beli. Dan fetish komoditi inilah yang saya liat dihasilin sama teror sosial, lingkungan, oh, dan juga iklan (tanpa nekenin pada sekedar iklan—karena pengaruh media tentu saja gak sesederhana pengaruh iklan doang); yang ngebentuk imajinasi imajinasi tertentu pada komoditi itu. Dan dari imajinasi kepentingan tersebut, munculnya hubungan personal kepada komoditi. Ini adalah semacam mental disorder (hei bukan klasifikasi dari saya loh, tapi kata buku DSM hasil tulisan American Psychiatric Association , asosiasi psikolog modern itu) yang ngebuat pasar dan produksi komoditi terus berjalan. Ini yang sering disebut sama majalah-majalah yang girly sebagai; “shopping itu ngeredain stress loh”. Hahah, makanya mungkin para penulis yang keki sama kelakuan konsumeris bakal semakin sering menghela nafas, soalnya, hampir semua orang sekarang butuh ini; dan sepanjang pemenuh hasrat ini ngebutuhin pertukaran nilai tukar/uang, kalian bisa terus memaki sampai keabisan kata…hei tapi sistem ini bakal terus berjalan dengan keberadaan fetish ini. :P
Sedikit mulai ngedapetin gambaran?
Terkadang, dari contoh-contoh yang diatas, saking umum dan diterimanya hal-hal itu dalam masyarakat; tentu itu dianggap sebagai hal yang natural dan biasaa.

Oh sekarang memasuki contoh dari dunia yang sedikit lebih gelap dan personal; semakin familiar rasanya saya dengan kata depresi. Mmm…untuk jelasnya, depresi itu bukan sekedar stress; ia adalah stress, angst, kebencian dan kesedihan yang bertumpuk hingga asal mulanya udah semakin gak kelacak. Disebut oleh DSM sebagai major depressive disorder; orang-orang yang depresi kesulitan untuk ngalamin kesenangan dalam hidup kesehariannya. Biasanya, hari-harinya didominasi oleh mood yang butut. Angst, kemarahan, sakit hati, kebencian, dan segala emosi terhadap faktor-faktor eksternal itu kemudian menjadi bumerang buat dirinya sendiri. Orang-orang yang depresi pada umumnya kemudian ngarahin segala emosi ‘negatif’ itu ke dirinya sendiri, selain ke hal-hal diluar dirinya. Kemudian ia bakal ngerasa dirinya gak berarti, perasaan bersalah atau penyesalan yang sebenernya mungkin gak perlu, ngebenci dirinya sendiri dan idupnya, dan ngerasa ini nyaris gak bisa dihentiin,..dan makanya kebanyakan orang dalam fase depresif yang kemudian mulai bergerak kearah tendensi-tendensi bunuh diri. Dalam fase kemuraman ini, sebagian orang yang depresif bakal nutup hubungannya dengan lingkungan sosial dia yang biasa dia masuki. Kesulitan tidur atau justru kebanyakan tidur, juga adalah efek yang biasa. Dunia dan kehidupan bakal nampak sangat gak relevan buat terus dilanjutin. Terkadang, orang-orang yang depresif juga ngalamin ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorder). Orang-orang yang depresif seringkali disamain sama sekedar moody; atau berganti-ganti mood dengan cepat, karena emang orang depresif ternyata lumayan moody; tapi ya bukan sekedar itu doang sih.
Masih pengen ngebahas depresi, salah satu hasil dari tahap perkembangan dari major depressive disorder tadi, adalah sindrom psychotic major depression. “Tahap selanjutnya” ini bisa dialamin kalo individu yang ngalamin depresi tadi gak berhasil keluar dari lubang hitam kemuramannya, tapi juga gak jadi-jadi bunuh diri. Kebanyakan individu yang ngalamin PMD, ngerasain delusi rasa bersalah dan paranoid; atau ngerasa bahwa ada sesuatu yang salah di tubuhnya; ketika bahkan tubuhnya berfungsi secara normal. Gejala-gejala umum yang lainnya, individu dengan PMD biasanya ngerasain kesulitan tidur, mudah teragitasi, atau ngalamin kesulitan mengingat (‘gangguan dalam hal kognisi dan memori’). Tapi tentunya gejala ini gak ngerangkum semua gejala psikosis, karena masih banyak cabang dari klasifikasi psikosis yang lainnya misalnya skizofrenia, atau skizoaktif. Dan PMD ini gak nampak terlalu mencolok untuk pihak eksternal; karena orang-orang yang masuk kedalam klasifikasi PMD biasanya masih dapat berfungsi secara harian seperti biasa.

Masih nambah dikit soal PMD ya, saya gemes soalnya pengen nambahin tes sederhana untuk ngediagnosa psikosis depresif (kata padanan ini sangat besar kemungkinannya gak selaras dengan kata padanan yang dipake dalam buku psikologi bahasa indonesia, soalnya bahan-bahannya emang gak diambil dari situ). Daftar yang saya masukin dibawah adalah murni terjemahan dari DSM:

Berdasarkan buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) / Manual Statistik dan Diagnosa dari Kekacauan Mental, sebuah manual yang digunakan secara luas untuk mendiagnosa mental disorder/kekacauan mental, pasien-pasien yang menunjukkan setidaknya 6 dari gejala-gejala berikut ini dalam periode dua minggu atau lebih dapat di diagnosa sebagai PMD (Psychotic Major Depression). Untuk dapat diangap mengalami diagnosa PMD, pasien setidaknya mengalami no (1) atau (2), dan (10), bersama dengan tiga atau empat gejala lainnya (hingga total kurang lebih enam). Gejala-gejala ini dapat terjadi secara berbeda-beda tergantung bagaimana yang dirasakan/dilakukan pasien pada waktu sebelumnya.

1. mood depresif pada kebanyakan hari atau setiap hari.
2. kehilangan ketertarikan atau kesenangan dalam setiap hal, atau nyaris setiap hal yang dilakukan pada mayoritas hari, atau setiap hari.
3. Kehilangan/penambahan berat badan yang signifikan, Atau mengurangnya/meningkatnya selera makan nyaris setiap hari.
4. insomnia Atau hipersomnia (tidur secara berlebihan) nyaris setiap hari
5. agitasi psikomotorik (bergerak lebih cepat) Atau retardasi (retardation, bergerak lebih lambat) nyaris setiap hari, cukup mencolok hingga disadari oleh orang2 sekitarnya
6. lemas Atau kehilangan energi nyaris setiap harinya
7. perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah (yang dapat saja delusional) yang berlebihan, nyaris setiap harinya (bukan sekedar introspeksi diri atau perasaan bersalah akibat merasa sakit)
8. kehilangan kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, Atau, kehilangan kemampuan untuk memutuskan, nyaris setiap hari
9. pikiran yang berulang2 mengenai kematian (bukan dalam arti ketakutan akan mati), berulang2 memiliki ide-ide bunuh diri tanpa rencana spesifik, atau usaha-usaha bunuh diti, atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri
10. delusi atau halusinasi

Sedikit Familiar? Atau mungkin pernah punya temen/relasi yang gitu?
Mungkin iya, atau belom. :D yah contoh yang saya taro emang cuma tiga, soalnya tiga juga asa udah kepanjangan hehe..tapi sementara udah cukup lah ya buat ngegambarin kenapa menurut saya mental disorder adalah hal yang sangat umum buat ditemui di zaman sekarang. Saya mesti akui saya emang mulai tertarik baca-baca soal ginian, semenjak saya ngerasain beberapa hal dari yang dari awal tulisan tadi udah saya tulisin.
Karena seperti yang tadi saya bilang di awal; karena kita semua udah terlanjur gila, jadi udah gak ada masalah apakah kita gila atau gak—itu cuma jadi masalah ketika kita nganggep dampak-dampaknya punya efek yang kita gak pengenin dalem hidup kita. Buat saya sendiri, beberapa dari simptom yang saya punya cukup ngeganggu hidup saya sendiri, dan saya pengen minimalisir hal itu.
Dan setelah itu, tentunya saya gak cuman ngambil referensi murni dari DSM dan langsung percaya gitu aja...nggak, soalnya saya secara pribadi percaya, kalo dalam perkembangan peradaban ini, secara psikologis dan biologis, manusia pelan-pelan berevolusi (atau bermutasi? Karena secara genetik kita juga udah diacak-acak sama berbagai substansi kimia yang ada dalam pangan kita turun temurun), dan perkembangan dalam ‘inovasi-inovasi’ biokimia juga menurut saya sangat berpengaruh dalam perubahan ini.
Sementara, DSM dibuat oleh para psikolog dan psikiater yang gak masukin hal-hal tersebut sebagai bahan pertimbangan diagnosa, jadi dengan basis yang beda dengan yang saya percaya, tentunya saya gak bakal ngandelin para psikolog modern buat ngasi tau saya apa yang salah dengan kecenderungan mental kita hari ini. Tapi seenggaknya, referensi teoritis dari para ilmuwan itu ngebantu saya untuk ngeklasifikasiin gejala (meskipun nyaris dari semua teori itu emang gak punya kesimpulan yang meyakinkan tentang penyebab, tapi seenggaknya mereka udah ngeluangin banyak waktu untuk ngelacak gejala dan akibat).

Hal-hal yang saya jadiin contoh diatas, adalah hal-hal yang saya sempet amati di diri saya dan di lingkungan sosial saya. Emang lebih detail lagi kesimpulan yang saya dapet buat diri saya sendiri; karena emang sumbernya lebih banyak dan historis (diary dari bertahun-tahun lalu sampe sekarang, misalnya), dan tentunya saya adalah bahan yang lebih mudah untuk saya amati. Karena saya ingat hal-hal yang terjadi dalam idup saya, dan perkembangan emosional saya sepanjang itu. Sementara, orang lain adalah pihak eksternal; saya cuma bisa belajar darinya sepanjang mereka mau cerita sama saya. Dan kita tau kalo komunikasi ke pihak eksternal itu ke reduksi; saya gak akan dapet hasil seoptimal nganalisa diri sendiri.
Karena hal ini juga sebenernya buat saya psikiater itu cukup gak relevan keberadaannya; karena mereka pasti gak akan berfungsi secara efektif! Kecuali kalo individu yang ngerasa keganggu sama sindrom-sindromnya itu gak ngerasa mampu/pengen buat ngepelajarin dirinya sendiri, dan emang butuh bantuan eksternal. Tapi sehubungan temen yang lumayan tau soal psikologi juga bisa ngebantu untuk ngenalin dan ngatasin sindrom-sindrom mental disorder; tentunya ngebayar sangat mahal untuk psikiater buat saya adalah hal yang tolol.
Dan toh biasanya para psikiater itu kemudian cuma ngasi resep-resep obat biokimia; karena dalam teori-teori mereka, hasil analisa dari sisi biologi juga nunjukin kalo ada perbedaan-perbedaan hormon dan/atau genetik pada orang-orang yang ngalamin mental disorder. Misalnya; di orang-orang yang depresif, ditemuin bahwa mereka memiliki level yang rendah dari neurotransmitter seperti serotonin, norepinephrine dan dopamine। Sesuai dengan teori “penyembuhan depresi membutuhkan peningkatan monoamine” tersebut, maka banyak anti-depressan yang diberikan oleh para psikiater langsung meningkatkan salah satu atau beberapa dari neurotransmitter tersebut. Diasumsikan, ketika serotonin meningkat dan menyebabkan norepinephrine juga meningkat, depresi dapat terbantu.

"Norepinephrine dapat terhubung kepada kesiagaan dan energi, seperti halnya juga kecemasan, atensi, dan ketertarikan dalam hidup; [kekurangan] serotonin kepada kecemasan, obsesi, dorongan; dan dopamine kepada atensi, motivasi, kesenangan, dan juga kepada ketertarikan kepada hidup”
- Journal of Clinical Psychiatry

Terdengar logis, terdengar nyaris dapat diandalkan.
Kenyataan yang saya liat dari penggunaan-penggunaan andep/anti-depressan oleh teman-teman di lingkungan saya; meskipun anti-depressan memang ngehasilin mood yang lebih tenang dan santai, ia gak akan ngebantu untuk ngedapetin mood yang ceria atau energik. Dan kebanyakan dari pengonsumsi andep; merasakan gangguan hormonal ketika sedang tidak mengonsumsinya. Dengan kata lain, saya tetep gak bisa percaya sama intervensi orang buat gangguin struktur biokimia saya dengan bahan-bahan yang secara psikologis berpengaruh kuat. Dari sudut pandang saya, lagi-lagi ketika “penyembuhan” itu udah lebih berorientasi sangat kuat terhadap bisnis, saya bakal kesulitan percaya sama mereka, karena bukannya ngambil fokus di penyembuhan individu yang ngonsumsi, mereka akan lebih berfokus kepada profit yang akan dihasilkan dari situ. Dan obat-obatan itu gak lain adalah komoditi dari bisnis besar industri medis. Kita semua yang udah pada gila ini, adalah pasarnya.

Jadi, meskipun menurut saya adalah hal yang kepake, buat ngepelajarin studi-studi psikologi yang udah dilakuin sama para ilmuwan itu; saya gak akan ngandelin mereka buat ngejelasin penyebabnya, apalagi cara penyembuhannya. Apalagi karena menurut mereka “sembuh” itu kembali ke rutinitas hidup yang diamini sama masyarakat mayoritas dan masuk ke garis “normal” (alias, lagi-lagi, hal yang dianggap ‘normal’ adalah hal yang dilakukan/diamini sama orang mayoritas); dan kalo itu yang disebut “sembuh”---sementara saya nemuin banyak kegilaan dalam “kenormalan” yang mereka amini, gimana saya mau percaya mereka buat “nyembuhin” saya?

Mulai dari kesadaran kalo ternyata saya idup dalam dunia dimana semua orang itu terlanjur gila (entah mereka mau mengakui hal itu atau berusaha keras menyangkalnya); akibat berbagai faktor kompleks yang saling berhubungan...saya jadi punya ketertarikan tertentu untuk nyoba nyari jawaban dari kalimat “kenapa ya bisa sampe gini?”.
Nah, hal ini yang waktu itu, dalam tulisan saya berjudul “Merengkuh Sakit” pengen saya bahas dalem zine saya, :D yah, tapi karena ada hal-hal personal yang kemudian terjadi, gak jadi jadi juga saya mulai mu ngebahas hal ini. Mungkin terlalu panjang kalo saya nyoba bahas satu-satu tentang simptom-simptom yang saya penasaran di tulisan ini; jadi saya bakal nyoba nyambungin dengan bahas simptom yang lebih spesifik/fokus dalam tulisan berikutnya. Ah, kalian yang udah pernah baca uncivilized –terutama- bab Trauma Domestikasi mungkin familiar dengan apa yang saya omongin ini; bahasan yang nyoba “ngelanjutin” tulisan primitivis yang nulis tentang Trauma Domestikasi. Tapi menurut saya sih, tulisan itu kurang lengkap; karena dia gak sempet ngebahas sudut pandang-sudut pandang yang lebih melelahkan yang juga terlibat, semacam efek-efek psikologis dari bentukan “masyarakat penonton” (society of spectacle), generasi dengan arus informasi super cepat, efek psikologis dari tereduksinya makna hidup, dan keberadaan generator-generator identitas instan. Nah, justru karena ribetnya semua itu, kayanya pencarian jawaban dari pertanyaan sederhana tadi bakal jadi perjalanan yang sangat panjang; mungkin bahkan sampe mati saya belom bakal nemu kesimpulan yang sepenuhnya tepat dari pertanyaan “kenapa” tadi itu.
Yah, tapi sampe mati juga Freud belom nemuin konsepsi psikologis yang sempurna, jadi nampaknya penemuan jawaban yang sepenuhnya tepat itu emang gak akan kesampaian selama saya idup; jadi ya gak masalah। Tapi yang jelas, ini ngebuat semua hal yang pengen saya pelajarin secara otomatis jadi relevan dan urgent untuk saya mengerti; sekedar supaya saya bisa pelan-pelan ngebebasin diri dari jerat-jerat patologi yang udah dirajut dari sepuluh ribu tahun lalu ini aja. :) ah, kalo ada yang pengen bantuin saya nambahin atau ngritik, "ngoreksi",... saya tertarik banget looh... hehe.