Kamis, 22 Oktober 2009

Mengapa aku tidak tertarik kepada Islam dan Bisnis.


Why did you give me

So much desire?
When there is nowhere I can go
To offload this desire
And why did you give me
So much love
In a loveless world..
(Morissey – I have forgiven Jesus)


( Mecca, Januari 2009 )
Pada langit cerah diatasku, burung-burung hitam mengepakkan sayapnya dalam gerombolan. Masih menengadah, kupikir, aku tidak tahu burung-burung apa itu. Entah bagian mana dari kota yang konon sakral ini yang mereka huni. Apakah dibalik mesin-mesin kontruksi yang besar, tinggi menjulang, yang berada di balik mesjid besar ini; atau di atap hotel-hotel bintang lima dengan biaya menginap yang sangat-sangat tinggi yang berada di belakang mesin-mesin itu? Atau mungkin mereka sekedar membuat sarang diantara gundukan tanah yang membentuk bukit; gundukan tanah hasil pengerukan rumah-rumah yang digusur untuk membangun pusat perbelanjaan megah dan hotel-hotel mewah yang mengelilingi mesjid besar ini. Aku mengerutkan kening. Gundukan tanah itu tidak rapih. Ia masih berbentuk tumpukan rumah hancur, dan di sela-selanya masih berbentuk rumah yang rusak; haha, dan aku bahkan bisa melihat masih ada orang-orang yang hidup di dalam rumah rusak itu.
Sementara itu, di hadapanku, terdapat ratus-ribu orang berbaju hitam atau putih. Mereka sedang bersujud menghadap sebuah bangunan berbentuk kotak, yang diselubungi kain berwarna hitam.

Aku sendiri sedang duduk di tangga, bersembunyi dari ayahku yang sedang ikut bersujud massal. Beruntung untukku, jarak dari jamaah laki-laki dan perempuan cukup jauh, hingga aku bisa bersembunyi dari ayahku, melamun di tangga, sementara ia dan ratusan ribu ini sedang melakukan ritual mereka. Ia tentu mengira aku juga ikut bergabung dalam ritual ini.
Aku sama sekali tidak tertarik untuk mendatangi tempat ini. Bulan ini, aku berharap hanya harus mengunjungi ayahku untuk berbasa-basi dengan lingkungan kerja barunya. Ia baru saja dipindahkan ke Arab Saudi, sebagai promosi dari pekerjaannya. Dari sekian pilhan negara yang tersedia bagi pekerjaannya, entah kenapa ia harus tinggal selama empat tahun kedepan, di negara yang sama sekali tidak menarik bagiku. Karena ia selalu menginginkan efisiensi waktu dan uang, maka tentu saja ia tidak puas bila kami tidak sekalian mengunjungi kota ini.
Aku banyak mendengarkan dongeng mengenai betapa sakralnya kota ini.
Mecca.
Tempat dimana orang berdosa akan celaka. Tempat dimana hanya muslim yang dapat memasukinya. Kafir akan disesatkan, dan akan mengalami petaka. Konon, kota ini adalah tempat orang-orang melakukan ibadah mereka dengan khusyuk, tulus, penuh pengorbanan dan niat suci.

Ha.
Pada langkah pertama yang kupijakkan di kota ini, aku langsung menyadari kekonyolanku pada masa kecil. Aku adalah seorang kafir, yang sangat senang melakukan hal-hal yang mereka anggap dosa, dan aku baik-baik saja. Aku sama sekali tidak kesulitan menemukan jalan pulang ke hotel dimana kami menginap. Dari jejeran mall-mall besar, untuk menemukan hotel itu, aku hanya perlu melewati gerombolan pengunjung yang tidur/menginap di lantai halaman mesjid besar ini karena mereka tidak mampu menginap di hotel-hotel besar yang ada disana. Aku tidak tersasar, dan tidak ada kekuatan ajaib yang mencelakaiku.
Ini adalah kota suci yang aneh. Sewaktu kecil, aku tidak akan pernah menyangka bahwa bukan seberapa-rajinkah-kamu-beribadah lah yang akan menyelamatkanmu disini. Ternyata, seperti hal nya tempat-tempat pariwisata dengan jumlah pengunjung tinggi setiap harinya, yang kamu butuhkan hanya uang, uang yang sangat banyak, dan kamu akan selamat. Hei, dan konon bila kau sering datang, kau bahkan akan masuk surga. Konon, setiap kamu shalat di mesjid ini, valhalla yang kau dapatkan adalah beratus kali lipat dari mereka yang shalat di mesjid di bagian dunia lain yang tidak sakral. Karena itu, hasilkan uang semakin banyak, sering-seringlah shalat di titik-titik dimana valhalla yang dihasilkan sangat besar, dan hidupmu akan selamat—dunia dan akhirat.


Aku menatap menerawang ke langit.
Lampu neon logotype Meridien dan Hilton menyala terang disamping bulan sabit yang cantik.
Mereka yang tengah ditangkapi karena tidak menginginkan lingkungan mereka hidup dirusak oleh Semen Gresik di Sukolilo, atau di Medan sana; entah apakah mereka akan pernah mampu membeli tiket ke surga ini. Sementara keseharian mereka menyerupai neraka.

Islam, yang kupelajari dari semua muslim yang pernah kutemui dalam hidupku sejauh ini, dijalankan dengan hitungan dagang. Serupa bisnis. Sepanjang kamu pintar-pintar menjauhi yang dilarang, dan terus melakukan hal yang disuruh agar kamu dapat menabung valhalla, kamu akan masuk surga.
Sama sekali tidak ada masalah apabila setiap hal yang menguntungkanmu pada tiap harinya, merupakan kerugian bagi pihak yang lain. Meskipun kau bekerja untuk mengembangkan perusahaan yang menghancurkan kehidupan banyak orang. Meskipun kau tidak pernah memperdulikan apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini. Meskipun untuk gaji besar dalam pekerjaanmu, berarti banyak orang tidak memiliki uang untuk membeli pangan. Meskipun untuk hotel megah dimana kamu menginap, dan pusat-pusat perbelanjaan dimana kamu memuaskan hasratmu mengonsumsi, pasti ada orang-orang yang harus diusir dari rumahnya. Meskipun kau membiarkan sumber-sumber berita yang membentuk opinimu dipenuhi bualan, omong kosong yang hanya menguntungkan para pemiliknya: para penguasa dan saudagar besar. Meskipun setiap harinya, kamu berpura-pura tidak sedang hidup dalam posisi yang membiarkan sistem ekonomi yang menagih darah dan nyawa setiap detiknya ini terus berlangsung. Pintar-pintar menabung valhalla, menjalani yang diwajibkan, dan menjauhi dosa. Cukup itu saja.

Di depan Ka’bah itu aku meringkuk dan memejamkan mata.
Aku tidak mau spiritualitas seperti ini. Aku tidak butuh kota suci yang dipenuhi oleh saudagar serakah yang sibuk meraup untung dari gerombolan mereka yang haus valhalla.

Aku membenci negara ini; Arab Saudi. Negara yang menjadi kiblat orang-orang religius di tempat aku hidup, Nusantara. Kiblat semacam ini. Tempat dimana perempuan dilarang melakukan nyaris semua hal diluar rumah tangga mereka. Dan kau bisa menemukan rumah keluarga Saud dimana-mana. Seperti istana, rumah-rumah itu megah, luas, bertembok besar dan berpenjaga. Pada sisi lain kota, para pekerja imigran bergaji rendah berjejalan dalam angkutan umum yang berkendara diatas jalanan yang cantik dan bersih.
Ayahku sering bercerita, bahwa dalam pekerjaannya, ia seringkali shock melihat hal-hal yang dilakukan orang-orang disini. Ia harus ikut mengurusi pengadilan tenaga-tenaga kerja yang disetrika, dipukuli, dibunuh secara sadis (berdasarkan hasil forensik yang dilakukan terhadap mayatnya) oleh kepala keluarga setempat, atau bahkan dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Bagaimana seorang yang sangat kaya tetap tidak mau menggaji seseorang yang telah bekerja kepadanya selama puluhan tahun. Dan bagaimana passport orang-orang malang ini ditahan oleh majikannya, hingga mereka tidak dapat/sulit kabur. Ayahku juga sering bercerita tentang pekerjaannya yang dipersulit oleh pemerintah Arab Saudi yang sangat melindungi warganya, sehingga seringkali psikopat-psikopat ini lepas tanpa mendapat hukuman.

Dengan kiblat semacam itu, seharusnya aku tidak lagi heran mengapa di Nusantara tempatku tinggal, mereka memelihara gerombolan preman psikopat semacam FPI dan FBR. Atau mendukung partai yang mendanai gerombolan tukang pukul yang menamakan dirinya pembela kebenaran tersebut. Para pembela kebenaran yang senang memukuli dan mengacak-acak rumah seseorang yang membuka warung makannya pada saat bulan puasa, karena dianggap tidak menghargai bulan (yang lagi-lagi) suci tersebut. Meskipun warung tersebut kecil, orang itu miskin, dan entah makan apa yang mampu dibeli orang itu saat magrib bila ia tidak berjualan hari itu.


####


Mengapa aku tidak tertarik pada Islam (setidaknya yang dipercayai oleh orang-orang di sekelilingku), bukan sekedar karena itu. Dua minggu yang kuhabiskan di negara itu hanya menguatkan ketidaktertarikanku terhadapnya. Sebagian karena ibuku yang memaksaku untuk berpura-pura menjadi orang yang religius selama kurang lebih 18 tahun, dengan ancaman usiran dari rumah, berhentinya sokongan keuangan, dan tidak lagi dianggapnya aku sebagai anak apabila paksaan itu kutolak. Tahun-tahun yang kulewati di SD, SMP, dan SMA cukup untuk membuatku muak dengan kekangan mutlak yang ia paksakan. Beruntung untukku, sekitar dua tahun lalu aku menyudahi semua itu. Namun seperti layaknya orang yang muak dengan ruang tertutup setelah dipenjara selama 18 tahun, aku sungguh mati rasa dengan hal-hal yang berbau religius. Sebagian lagi, karena spiritualitas yang dijalani oleh teman-teman dan keluargaku yang muslim, yang tidak kuanggap sebagai spiritualitas yang kuinginkan.
Tapi aku tidak mengatakan bahwa aku tidak tertarik dengan semua muslim. Aku hanya ingin menjauh dari mereka yang memperlakukan spiritualitas mereka seperti mereka melakukan manajemen bisnis dan keuangan harian mereka.

Tadi malam, aku sempat menyinggung hal ini ketika mengobrol dengan Def, kekasih yang tinggal bersamaku. Ia sedang bercerita bahwa saat masih kecil, ia sempat mengalami insomnia selama berbulan-bulan. Karena itu, setiap tengah malam ia akan terbangun di ranjangnya dengan mata tertutup, gelisah dan berusaha untuk tidur karena tubuhnya lelah, namun tidak bisa. Ia berkata, seringkali ia terharu ketika pada tengah malam itu, ia mendengar ayahnya yang sedang berdoa dalam shalat tahajudnya. Terutama ketika ayahnya mendoakan harapan-harapan yang begitu manis. Hal-hal yang tidak pernah dikatakan oleh sang ayah dengan melankolis dan tulus seperti itu kepada Def sendiri. Kami membicarakan Doa. Hingga kami tiba pada kesimpulan, bahwa doa yang tulus tetaplah merupakan hal yang manis. Terutama ketika itu ditujukan bagi orang lain. Ia adalah harapan-harapan agar hal-hal baik terjadi, yang di afirmasikan secara fokus/khusyuk kepada sebuah mediasi tak kasat mata yang ada di benak. Menurut kami yang terpenting adalah, harapan-harapan itu tersampaikan, justru kepada diri sendiri. Untuk terus mengingat, hingga tiba harapan dan ingatan itu pada bawah sadar. Hingga kadang, keputusan-keputusan kita setiap harinya, dipengaruhi oleh harapan yang telah terpendam di bawah sadar tersebut.
Shalat yang tidak mengingat pahala dan kewajiban pun mengingatkan kami terhadap meditasi. Seperti halnya meditasi-meditasi pada beberapa agama lain, misalnya Buddha, ia dilakukan dalam posisi-posisi yang mendukung proses meditasi tersebut. Berdiri, rukuk dan sujud pada Islam yang meregangkan tubuh. Posisi sila yang tidak menghambat peredaran darah pada Buddha. Mengeluarkan bunyi-bunyian yang mendukung proses pemusatan pikiran kepada hal-hal diluar keseharian dunia. Doa-doa pada awal shalat. Suara ambiens yang harus dikeluarkan pada meditasi Buddha. Kesimpulan kami, Shalat adalah meditasi. Apabila seseorang dapat memusatkan pikirannya pada hal-hal diluar dirinya tersebut (masing-masing agama memiliki medium), misalnya tuhan, atau kekosongan, atau rasa; ia kemungkinan dapat mencapai titik ekstase, orgasme spiritual dimana hanya rasa tanpa kata yang tersisa darinya.
Dengan kata lain, dari sudut pandang itu, aku sama sekali tidak bermasalah dengan agama apapun. Menurutku proses spiritualitas seseorang baik untuk kesehariannya sendiri. Dan berarti agama bagiku hanya merupakan satu dari begitu banyak pilihan untuk menjalani proses spiritualitas. Ada yang memilih dengan mabuk, dengan meditasi stoik, atau meditasi kebisingan, meditasi keheningan, dan ada yang memilih meditasi dengan yoga atau shalat. Itu tinggal perkara selera. Kami juga membicarakan mengenai nabi.
Apakah bedanya nabi dan filsuf? Nietzsche dan Muhammad? Bila kamu menjawab bahwa perbedaannya terletak pada mukjizat dan wahyu; maka jawaban dari percakapan kami kemarin adalah perbedaan dari Nabi dan Filsuf terletak pada sejauh apa orang-orang di sekeliling mereka mempercayai omongannya. Apalah bedanya Muhammad yang pergi menyendiri untuk mendapatkan wahyu, dengan Nietzsche yang menyendiri untuk mendapatkan ide. Nabi dan Filsuf adalah para pemikir yang memiliki pemikiran mengenai “bagaimana sebenarnya kita harus memandang hidup”; dan itulah isi dari kitab mereka. Cara untuk memandang dan menjalani hidup menurut mereka; dalam Qur’an, dalam Thus Spoke Zarathustra, dalam Injil. Untukku, Agama adalah filsafat yang dipenuhi dengan kisah mukjizat dan keajaiban.

Yang aku benci adalah cara praktek agama yang mengamini kekuasaan kapital, serta memaksakan kebenaran yang mereka percayai kepada orang lain, dengan cara apapun. Pada titik itu, itu bukanlah lagi spiritualitas personal yang berada diluar pemikiran keseharian. Ia sangatlah banal, memuakkan, dan hanya mengamini pembentukan neraka bagi orang lain; demi membangun kondisi yang menyenangkan bagi mereka. Agama yang se-egois itu untukku adalah hal yang munafik, basa basi dan pengecut. Tidak ada sama sekali hal yang menarik dari melakukan sesuatu hanya karena kamu disuruh melakukannya, karena kamu menghindari hukuman bila tidak melakukannya, dan mengharapkan imbalan karenanya.
Agama seperti itu, hanya berpura-pura mencintai cinta dan kebebasan.
Karena yang mereka lakukan hanyalah menghidupi kebohongan dan pembenaran, agar mereka tetap dapat melakukan hal-hal memuakkan yang mereka lakukan dengan wajah tanpa rasa bersalah.
Tidak ada cinta di dalamnya.
Dan itulah mengapa aku membenci agama semacam itu, dan mengapa aku muak kepada bisnis perdagangan nyawa dalam sistem ekonomi kapitalisme yang terus mereka elu-elukan.

Agama seperti itulah yang kukira disebut Marx sebagai candu yang hanya berfungsi sebagai pengontrol agar mereka yang tertindas tidak mengamuk, dan agar mereka yang serakah dan mengambil keuntungan dari penindasan dapat merasa lebih baik dan 'suci'.


Selasa, 20 Oktober 2009

Pagi pertama setelah sekian lama.


Carpe nocto.


Diatas tulisan itu, terdapat gambar mata horus; lambang dewa bulan pada mitos Mesir kuno. Dua hal itu adalah tato pertamaku, yang keinginan untuk membuatnya datang secara impulsif. Pada awal Mei tahun 2008 lalu, aku meminta seorang teman yang baru saja kukenal pada tanggal satu, untuk merajahkannya padaku. Saat itu kondisi perasaanku sedang kacau, dan aku tidak benar-benar memilih gambarnya. Waktu itu, mirip dengan banyak waktu setelahnya, yang aku inginkan hanya rasa sakit fisik untuk mengalihkan pikiranku.
Kekasihku pada saat itu mengatakan, bagian belakang leher adalah tempat dimana ia merasa sangat sakit untuk meletakkan tato. Maka kupilih tempat itu begitu saja.

Beberapa malam sesudahnya, aku menenggelamkan diri dalam rentetan alkohol bercampur obat-obatan psikiatri bersama kekasihku saat itu, yang memang terbiasa menghabiskan setiap harinya dengan cara seperti itu. Beberapa malam sesudahnya, aku mulai batuk tanpa henti hingga setahun kemudian, ketika aku menyadari bahwa semenjak malam itu aku mulai mengidap bronkhitis. Dan terutama semenjak malam-malam itu, aku nyaris tidak pernah bisa bangun pagi sama sekali. Bila aku menyapa pagi, biasanya itu berarti aku memang belum tidur sama sekali.

Carpe nocto, 'seize the night'; dan aku memang jadi melupa hari dan mata ra - tanpa kusengaja hidupku berjalan sepenuhnya ketika matahari telah terbenam dan hari berwarna kelam.
Pagi ini adalah pagi pertama dimana aku bangun begitu saja, tanpa perasaan masih mengantuk, walaupun sial untukku, karena terbangun dari mimpi yang begitu buruk. Dan walaupun dalam mimpi itu masih ada orang yang kuceritakan nyaris sebulan lalu, ternyata hal-hal yang kutemukan kemarin malam dan pagi ini masih tetap membangunkanku dari tidur panjang yang murung selama sangat banyak bulan.


Aku telah membahas ini beberapa kali dengan kekasih dan temanku hingga terkadang bosan. Kebanyakan dari kita, memang sulit menghadapi kehilangan. Penyesalan, penerimaan rasa sakit, kerelaan untuk melepas memori-memori yang sudah semakin usang.. Untuk kebanyakan dari kita, tetap sulit untuk berhenti melihat kebelakang dan menatap kedepan.


Kemarin, terutama yang membangunkanku dari 'tidur' yang sangat panjang ini adalah sebuah kasus di Kulon Progo; supaya lebih jelas, mungkin lebih baik aku bercerita secara singkat mengenai mereka, dan mengapa mereka berpengaruh dalam merubah kecenderungan mentalku yang muram.

Kulon progo, adalah tempat dimana petani-petani berhasil secara kolektif dan otodidak, menyuburkan lahan yang begitu tanpa harapan dimana mereka hidup. Tanah pesisir pantai, dimana sebelumnya, penanaman tanaman-tanaman pangan pada lahan seperti itu tentunya adalah hal yang mustahil. Namun mereka, setelah berusaha selama puluhan tahun, berhasil mengubah lahan gersang itu menjadi lahan dimana mereka dapat hidup. Aku mengagumi mereka karena semangat hidup yang tinggi, bahkan dalam situasi yang tidak menguntungkan. Mereka dapat mengubah pasir menjadi lahan subur dimana mereka dapat hidup hanya dengan perangkat sederhana, tanpa modifikasi biologis yang merusak.
Hingga beberapa bulan lalu, Sultan, yang berkuasa di wilayah Jogja, bersama sebuah korporasi baru, menemukan potensi profit dalam kandungan besi yang terdapat dalam pasir pesisir tersebut. Dan tentu saja, korporasi dengan dukungan Sultan tersebut merasa memiliki hak untuk begitu saja menggusur petani-petani gigih itu, dari tempat dimana mereka telah berusaha untuk bertahan hidup selama puluhan tahun.
Dan yang tambah membuatku kagum, masyarakat petani disana begitu kuat. Mereka tidak begitu saja menunduk patuh (atau lebih absurd, menerimanya sebagai 'takdir' yang harus mereka jalani). Mereka menentang, dan mereka berusaha mempertahankan lahannya.

Dari sudut pandang sinis, tentu saja akan muncul kata-kata klise seperti: ya tentu saja, apa yang kamu harapkan dari korporasi dan pemerintah? Para korporat adalah para raja yang sebenarnya pada zaman ini, dan agen-agen pemerintah hanyalah para pendukung mereka, yang memberikan jalan seluas-luasnya untuk perdagangan diatas eksploitasi yang mereka lakukan.

Baiklah, tentu saja itu adalah gambaran logisnya. Namun apa yang akan kita lakukan selain berpendapat dengan kesal?

Pertanyaan itu terutama muncul kemarin siang, ketika datang berita bahwa para petani yang sedang berdemonstrasi itu ditembaki, disemprot gas air mata bertekanan tinggi, dan dilempari bom asap; aku terhenyak. Hal ini bukanlah hal yang baru, tapi mungkin karena aku telah sempat mengagumi mereka sebelumnya, ini memancing rasa gusarku. (Memang salahku sendiri karena tidak terlalu up-date dalam hal kabar kasus-kasus pemerintah & korporasi vs masyarakat di Takalar, Sumatra, Gresik, dan lain-lain.)
Hal ini, memancing pertanyaan untuk sebuah respon.
Karena itu malam kemarin, secara spontan aku pergi ke bandung untuk mengobrol dengan teman-temanku mengenai hal ini. Mengenai kemungkinan-kemungkinan yang tersedia untuk kita bereaksi terhadap hal-hal menyebalkan seperti ini.

Hal itu, ditambah dengan obrolan-obrolan dalam topik 'kehilangan' yang kulakukan sebelumnya, ternyata masih tetap menjadi tamparan agar aku terbangun.

Sudah cukup rasanya, satu bulan tambahan dari jumlah bulan yang kuhabiskan untuk gusar, merasa sakit dan kesal. Untuk melakukan komunikasi dengan orang yang berbagi banyak kenangan intens denganku itu, sebelum dan sesudah ia membaca tulisanku tentangnya. Aku mengatakan banyak hal dengan maksud memastikan berhentinya komunikasi kita; hal-hal menyebalkan yang sepenuhnya tolol dan asal, dan hal-hal yang sepenuhnya jujur. Mencoba melihat kearah lain. Meskipun ia bersikeras untuk bertemu. Meskipun ia tetap mengusik, bahkan dalam mimpiku malam tadi.


Ada hal-hal yang jauh lebih menarik dan urgent di depan, setidaknya begitu yang aku pikir beberapa hari ini.
Ada proses untuk menerima kehilangan, dan ada kekuatan yang muncul karena pemahaman mengenai rasa sakit. Ada pelajaran-pelajaran yang tidak bisa kita sekedar dapatkan dari sekedar membaca dan menonton; pelajaran-pelajaran yang kita pahami dari pengalaman dan waktu yang berlalu.

Dan seperti yang kukatakan kepada dua kekasihku (ya, sekarang dua sungguh sangat melebihi cukup untukku :) karena kali ini, aku hanya berhubungan dengan mereka yang benar-benar membuatku jatuh cinta) beberapa hari ke belakang. Aku benar-benar ingin memulai hari dengan ceria.
Seperti rasa sakit pada tubuh, pada mental pun aku ingin mengalami kelegaan tertentu yang hanya akan muncul setelah rentetan rasa sakit. Rasa ringan yang bukan karena naif dan tanpa luka; namun justru karena telah dipenuhi luka.


Despair, persona yang tertutup memang mampu memikat seseorang untuk terjebak dalam masa yang begitu lama.
Tapi mungkin ini waktunya berganti 'genre' cerita, haha.
Dan disamping Carpe Nocto akan kutambahkan Carpe Diem (seize the day); meskipun nampaknya yang terakhir tidak perlu kutegaskan dengan menambah tato 'Carpe Diem' di bagian tubuh yang lain. :P


Hidup ini, adalah bagaimana kita menyikapi situasi di sekeliling kita, dan yang terjadi pada kita.
Tanpa kecuali masalah-masalah penindasan legal seperti di Kulon Progo, tanpa kecuali masalah-masalah personal seperti masalah rasa.


...
Ahaha, Pagi pertama setelah sekian lama. :D