Selasa, 20 Oktober 2009

Pagi pertama setelah sekian lama.


Carpe nocto.


Diatas tulisan itu, terdapat gambar mata horus; lambang dewa bulan pada mitos Mesir kuno. Dua hal itu adalah tato pertamaku, yang keinginan untuk membuatnya datang secara impulsif. Pada awal Mei tahun 2008 lalu, aku meminta seorang teman yang baru saja kukenal pada tanggal satu, untuk merajahkannya padaku. Saat itu kondisi perasaanku sedang kacau, dan aku tidak benar-benar memilih gambarnya. Waktu itu, mirip dengan banyak waktu setelahnya, yang aku inginkan hanya rasa sakit fisik untuk mengalihkan pikiranku.
Kekasihku pada saat itu mengatakan, bagian belakang leher adalah tempat dimana ia merasa sangat sakit untuk meletakkan tato. Maka kupilih tempat itu begitu saja.

Beberapa malam sesudahnya, aku menenggelamkan diri dalam rentetan alkohol bercampur obat-obatan psikiatri bersama kekasihku saat itu, yang memang terbiasa menghabiskan setiap harinya dengan cara seperti itu. Beberapa malam sesudahnya, aku mulai batuk tanpa henti hingga setahun kemudian, ketika aku menyadari bahwa semenjak malam itu aku mulai mengidap bronkhitis. Dan terutama semenjak malam-malam itu, aku nyaris tidak pernah bisa bangun pagi sama sekali. Bila aku menyapa pagi, biasanya itu berarti aku memang belum tidur sama sekali.

Carpe nocto, 'seize the night'; dan aku memang jadi melupa hari dan mata ra - tanpa kusengaja hidupku berjalan sepenuhnya ketika matahari telah terbenam dan hari berwarna kelam.
Pagi ini adalah pagi pertama dimana aku bangun begitu saja, tanpa perasaan masih mengantuk, walaupun sial untukku, karena terbangun dari mimpi yang begitu buruk. Dan walaupun dalam mimpi itu masih ada orang yang kuceritakan nyaris sebulan lalu, ternyata hal-hal yang kutemukan kemarin malam dan pagi ini masih tetap membangunkanku dari tidur panjang yang murung selama sangat banyak bulan.


Aku telah membahas ini beberapa kali dengan kekasih dan temanku hingga terkadang bosan. Kebanyakan dari kita, memang sulit menghadapi kehilangan. Penyesalan, penerimaan rasa sakit, kerelaan untuk melepas memori-memori yang sudah semakin usang.. Untuk kebanyakan dari kita, tetap sulit untuk berhenti melihat kebelakang dan menatap kedepan.


Kemarin, terutama yang membangunkanku dari 'tidur' yang sangat panjang ini adalah sebuah kasus di Kulon Progo; supaya lebih jelas, mungkin lebih baik aku bercerita secara singkat mengenai mereka, dan mengapa mereka berpengaruh dalam merubah kecenderungan mentalku yang muram.

Kulon progo, adalah tempat dimana petani-petani berhasil secara kolektif dan otodidak, menyuburkan lahan yang begitu tanpa harapan dimana mereka hidup. Tanah pesisir pantai, dimana sebelumnya, penanaman tanaman-tanaman pangan pada lahan seperti itu tentunya adalah hal yang mustahil. Namun mereka, setelah berusaha selama puluhan tahun, berhasil mengubah lahan gersang itu menjadi lahan dimana mereka dapat hidup. Aku mengagumi mereka karena semangat hidup yang tinggi, bahkan dalam situasi yang tidak menguntungkan. Mereka dapat mengubah pasir menjadi lahan subur dimana mereka dapat hidup hanya dengan perangkat sederhana, tanpa modifikasi biologis yang merusak.
Hingga beberapa bulan lalu, Sultan, yang berkuasa di wilayah Jogja, bersama sebuah korporasi baru, menemukan potensi profit dalam kandungan besi yang terdapat dalam pasir pesisir tersebut. Dan tentu saja, korporasi dengan dukungan Sultan tersebut merasa memiliki hak untuk begitu saja menggusur petani-petani gigih itu, dari tempat dimana mereka telah berusaha untuk bertahan hidup selama puluhan tahun.
Dan yang tambah membuatku kagum, masyarakat petani disana begitu kuat. Mereka tidak begitu saja menunduk patuh (atau lebih absurd, menerimanya sebagai 'takdir' yang harus mereka jalani). Mereka menentang, dan mereka berusaha mempertahankan lahannya.

Dari sudut pandang sinis, tentu saja akan muncul kata-kata klise seperti: ya tentu saja, apa yang kamu harapkan dari korporasi dan pemerintah? Para korporat adalah para raja yang sebenarnya pada zaman ini, dan agen-agen pemerintah hanyalah para pendukung mereka, yang memberikan jalan seluas-luasnya untuk perdagangan diatas eksploitasi yang mereka lakukan.

Baiklah, tentu saja itu adalah gambaran logisnya. Namun apa yang akan kita lakukan selain berpendapat dengan kesal?

Pertanyaan itu terutama muncul kemarin siang, ketika datang berita bahwa para petani yang sedang berdemonstrasi itu ditembaki, disemprot gas air mata bertekanan tinggi, dan dilempari bom asap; aku terhenyak. Hal ini bukanlah hal yang baru, tapi mungkin karena aku telah sempat mengagumi mereka sebelumnya, ini memancing rasa gusarku. (Memang salahku sendiri karena tidak terlalu up-date dalam hal kabar kasus-kasus pemerintah & korporasi vs masyarakat di Takalar, Sumatra, Gresik, dan lain-lain.)
Hal ini, memancing pertanyaan untuk sebuah respon.
Karena itu malam kemarin, secara spontan aku pergi ke bandung untuk mengobrol dengan teman-temanku mengenai hal ini. Mengenai kemungkinan-kemungkinan yang tersedia untuk kita bereaksi terhadap hal-hal menyebalkan seperti ini.

Hal itu, ditambah dengan obrolan-obrolan dalam topik 'kehilangan' yang kulakukan sebelumnya, ternyata masih tetap menjadi tamparan agar aku terbangun.

Sudah cukup rasanya, satu bulan tambahan dari jumlah bulan yang kuhabiskan untuk gusar, merasa sakit dan kesal. Untuk melakukan komunikasi dengan orang yang berbagi banyak kenangan intens denganku itu, sebelum dan sesudah ia membaca tulisanku tentangnya. Aku mengatakan banyak hal dengan maksud memastikan berhentinya komunikasi kita; hal-hal menyebalkan yang sepenuhnya tolol dan asal, dan hal-hal yang sepenuhnya jujur. Mencoba melihat kearah lain. Meskipun ia bersikeras untuk bertemu. Meskipun ia tetap mengusik, bahkan dalam mimpiku malam tadi.


Ada hal-hal yang jauh lebih menarik dan urgent di depan, setidaknya begitu yang aku pikir beberapa hari ini.
Ada proses untuk menerima kehilangan, dan ada kekuatan yang muncul karena pemahaman mengenai rasa sakit. Ada pelajaran-pelajaran yang tidak bisa kita sekedar dapatkan dari sekedar membaca dan menonton; pelajaran-pelajaran yang kita pahami dari pengalaman dan waktu yang berlalu.

Dan seperti yang kukatakan kepada dua kekasihku (ya, sekarang dua sungguh sangat melebihi cukup untukku :) karena kali ini, aku hanya berhubungan dengan mereka yang benar-benar membuatku jatuh cinta) beberapa hari ke belakang. Aku benar-benar ingin memulai hari dengan ceria.
Seperti rasa sakit pada tubuh, pada mental pun aku ingin mengalami kelegaan tertentu yang hanya akan muncul setelah rentetan rasa sakit. Rasa ringan yang bukan karena naif dan tanpa luka; namun justru karena telah dipenuhi luka.


Despair, persona yang tertutup memang mampu memikat seseorang untuk terjebak dalam masa yang begitu lama.
Tapi mungkin ini waktunya berganti 'genre' cerita, haha.
Dan disamping Carpe Nocto akan kutambahkan Carpe Diem (seize the day); meskipun nampaknya yang terakhir tidak perlu kutegaskan dengan menambah tato 'Carpe Diem' di bagian tubuh yang lain. :P


Hidup ini, adalah bagaimana kita menyikapi situasi di sekeliling kita, dan yang terjadi pada kita.
Tanpa kecuali masalah-masalah penindasan legal seperti di Kulon Progo, tanpa kecuali masalah-masalah personal seperti masalah rasa.


...
Ahaha, Pagi pertama setelah sekian lama. :D

2 komentar:

MotherAnarchy mengatakan...

Carpe nocto, atau Carpe noctem?

.delirious hyena. mengatakan...

itu udah dibahas sama temen, hasilnya setelah meng google pun tak yakin... :D yah, kalo yang ada di leher saya sih carpe nocto. kalo salah, gara2 impulsif itu berarti. hkhk.